Senin, 06 Juni 2016

PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL MANUSIA, KAPITAL SOSIAL, KAPITAL BUDAYA, KAPITAL SIMBOLIK



BAB I
PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG
Pendidikan sebagai suatu investasi ataupun modal negara jangka panjang. Maksud ungkapan investasi ini mengacu kepada peningkatan dan pengembangan pendidikan di negara kita, Indonesia.
Peran pengetahuan dan pemberdayaan sumber daya manusia itu sangat penting. Kemajuan sebuah negara, salah satunya sangat ditentukan oleh mutu pengelolaan sektor pendidikan. Ketika struktur masyarakat semakin berkembang dan kompleks, maka kebutuhan pengetahuan dan pemberdayaan masyarakat pun ikut meningkat.
Human capital merupakan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan seseorang yang dapat di gunakan untuk menghasilkan layanan professional dan economic rent. Sedangkan pengertian teori Human Capital adalah suatu pemikiran yang menganggap bahwa manusia merupakan suatu bentuk kapital atau barang modal sebagaimana barang-barang modal lainnya, seperti tanah, gedung, mesin dan sebagainya. Human Capital juga dapat didefinisikan sebagai jumlah total dari pengetahuan, skill dan kecerdasan rakyat dari suatu negara.
Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi dalam bentuk Human Capital (Modal Manusia) telah berkambang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap Negara bahwa pembangunan sektor pendidikan untuk meningkatkan modal manusia merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya.

  1. RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan Pendidikan sebagai Kapital?
2.      Apa yang dimaksud dengan Pendidikan sebagai Kapital Manusia, Sosial, Budaya dan Simbolik?

  1. TUJUAN PENULISAN
1.      Mahasiswa mengetahui maksud dari Pendidikan sebagai Kapital
2.      Mahasiswa mengetahui pengertian dari Pendidikan sebagai Kapital Manusia, Sosial, Budaya, dan Simbolik.


BAB II
PEMBAHASAN
PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL MANUSIA, KAPITAL SOSIAL, KAPITAL BUDAYA, KAPITAL SIMBOLIK
A.    Pengertian Kapital
Secara etimologis, kapital berasal dari kata “capital”, yang akar katanya dari kata latin, caput, berarti “kepala”. Adapun artinya di pahami, pada abad ke-12 dan ke-13, adalah dana, persediaan barang, sejumlah uang dan bunga uang pinjaman.
Di sini, “ capital” tidak di terjemahkan sebagai modal seperti kelaziman yang dilakukan oleh banyak orang. Alasannya seperti yang dikemukakan oleh Lawang dalam bukunya “ Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologi Suatu Pengantar” yaitu: pertama, capital (Inggris) memang berarti modal, boleh dalam bentuk yang biasnya di gunakan untuk belanja barang kapital fisik (physical capital goods) yang memungkinkan suatu investasi dapat berjalan. Kedua, dalam bahasa Indonesia, orang sering menggunakan istilah “modal dengkul”, artinya tidak ada uang untuk di jadikan modal bagi belanja barang kapital fisik, kecuali tenaga orang itu sendiri, dalam pengertian tenaga fisik, juga dalam pengertian ketrampilan dan gabungan keduanya. Ketiga, konsep kapital berkait dengan suatu investasi. Oleh karena itu, kapital berhubung dengan suatu proses yang cukup panjang, yang tidak dapat langsung di gunakan seperti halnya “ dengkul” yang ada di depan mata dan siap di gunakan.
Pada periode sejarah perkembangan teori neokapital, kapital berkembang dalam berbagai bentuk dan dimensi seperti kapital manusia, kapital sosial, kapital budaya, dan kapital simbolik. Kesemua kapital baru itu berkembang berdasarkan gagasan awal tentang kapital, yaitu kapital dilihat sebagai suatu bentuk nilai surplus dan investasi yang diharapkan pengembaliannya dalam berbagai bentuk seperti keuntungan, pendapatan, laba, perolehan, kelebihan, dan kesempatan.

B.     Pendidikan Sebagai Kapital Manusia
Gagasan kapital manusia yang diajukan Schultz melalui “Investment in Human Capital” adalah bahwa proses perolehan pengetahuan dan ketrampilan melalui pendidikan bukan sekadar sebagai suatu kegiatan konsumtif, melainkan suatu bentuk investasi sumber daya manusia (SDM). Pendidikan sebagai suatu sarana pengembangankualitas manusia, memiliki kontribusi langsung terhadap pertumbuhan pendapatan negara melalui peningkatan ketrampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja.
Kapital manusia diciptakan dengan mengubah manusia dengan memeberikan mereka ketrampilan dan kemampuan yang memampukan mereka bertindak dengan cara-cara yang baru. Kapital manusia tidak berwujud, ia diwujudkaan dalam ketrampilan dan pengetahuan yang di pelajari oleh individu.
Akar perkembangan teori kapital manusia dapat di telusuri dalam pemikiran peletak dasar ilmu ekonomimodern, yaitu Adam Smith, yang menurutnya, kapital manusia terdiri atas kemampuan dan kecakapan yang di peroleh semua anggota masyarakat. Perolehan kemampuan, yang dapat dilakukan melalui pendidikan, belajar sendiri, atau belajarbsambil bekerja memerlukan biaya yang harus di keluarkan oleh yang bersangkutan. Biaya suatu pengorbana ini di keluarkan untuk memudahkan mencari pekerjaan, serta memperoleh pendapatan yang layak.
Teori kapital manusia, seperti teori yang lainnya, menuai beberapa kritik. Ace Suryadi (1999) menemukan beberapa kritik yang ditujukan pada teori kapital manusia dan dikelompokkan ke dalam empat kelompok besar yaitu:
Satu, Pengaruh Tidak Langsung. Suryadi (1999: 65-66), mendapatkan penelitian Herbert Gintis yang menemukan bahwa pendidikan atau pelatihan memang penting bagi tenaga kerja, tetapi tidak secara langsung dalam pengembangan kemampuan dan keterampilan.
Dua, Efek Kredesianlisme. Mengutip Ivan Berg, Suryadi selanjutnya menemukan bahwa perluasan pendidikan hanya memberikan pengaruh yang sangat kecil terhadap produktivitas tenaga kerja. Perluasan kesempatan pendidikan justru menyebabkan pasokan berlebihan tenaga kerja terdidik dengan rentangan kualifikasi tenaga kerja yang semakin besar karena sertifikasi pendidikan telah dilegitimasikan sebagai syarat penting untuk mendapat pekerjaan. Ketika kemampuan dan keterampilan menjadi syarat dalam pengangkatan tenaga kerja, maka sertifikat dan ijazah bukan merupakan hal utama dalam pengangkatan pegawai atau tenaga kerja (1999:66-67
Tiga, Asumsi “Screening Device”. Merujuk Keneth Arrow, Suryadi (1999: 67) menyebutkan bahwa pendidikan dipandang sebagai screening device, karena pendidikan tidak secara langsung meningkatkan produktivitas dan keterampilan lulusan sebagai calon pegawai. Pendidikan dilihat sebagai pembenaran terhadap seleksi dan penentuan gaji pegawai.
Empat, Regularitas. Menurut suryadi (1996: 67-68), keteraturan atau regularitas dalam penemuan-penemuan penelitian tentang kapital manusia tidak dapat digeneralisasikan, karena karena sangat bergantung pada karakteristik dari segmen masyarakatnya. Oleh karena itu, teori kapital manusia mungkin berlaku pada dua segmen masyarakat yang berkarakteristik ekstrem satu sama lainnya, yaitu pada kelompok masyarakat pendidikan sangat tinggi dan kelompok masyarakat sangat rendah.
Dari pengertian konsep dan teori kapital manusia yang berkembang terlihat bahwa pengetahuan, ketrampilan, kemampuan, dan atribut serupa lainnya yang di peroleh seseorang yang di perlukan untuk melakukan suatu kegiatan dalam kehidupannya dapat di peroleh melalui berbagai pendidikan, yaitu pendidikan formal, seperti di sekolah, pendidikan nonformal seperti pelatihan di tempat kursus, maupun pendidikan informal seperti belajar life skill di surau. Kesemua pengetahuan, ketrampialn, kemampuan, dan stribut serupa lainnya ini di pandang sebagai kapital manusia.[1]

C.    Pendidikan Sebagai Kapital Sosial
Dalam berbagai bidang studi, tingkat pendidikan tertinggi yang di peroleh seseorang di gunakan sebagai indeks kedudukan sosialnya. Menurut penelitian terdapat korelasi yang tinggi antara kedudukan sosial seseorang dengan tingkat pendidikan yang telah di tempuhnya. Walaupun tingkat sosial seseorang ttidak dapat di ramalkan sepenuhnya berdasarkan pendidikannya , namun pendidikan tinggi bertalian erat dengan kedudukan sosisal yang tinggi. Ini tidak berarti bahwa pendidikan tinggi dengan sendirinya menjamin kedudukan sosial yang tinggi.[2]
Terdapat beberapa pemikiran yang berkembang tentan definisi kapital sosial. Berikut beberapa pengertian yang di kumpulkan beberapa ahli tentang kapital sosial :
1.      Menurut Piere Bourdieu (1986) : kapital sosial sebagai “ sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembaga serta berlangsung terus-menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik (dengan kata lain, keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memeberikan ke[ada anggoatanya berbagai bentuk dukungan kolektif”
2.      Menurut James Coleman (2008:268) : kapital sosial sebagai “ seperangakat sumber daya yang inheren dalam hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas serta sangat berguna bagi pengembangan kognitif dan sosial seorang anak. Coleman juga menambahkan bahwab kapital sosial merupakan “aspek dari struktur sosial serta memfasilitasi tindakan individu dalam struktur sosial.”
3.      Alejandro Portes (1995:12-13) : Ia membatasi kapital sosial sebagai “ kemampuan individu untuk mengatur sumber-sumber langka berdasarkan keanggotaan mereka dalam jaringan atau struktur sosial yang lebih luas.
4.      Adapun menurut seoarang ilmuan politik Robert Putnam (1999) mendefinisikan kapital sosial sebagai “jaringan, nilai, dan kepercayaan yang timbul di antara para anggota perkumpulan, yang memfasilitasi koordinasi dan kerja sama untuk manfaat bersama.”
5.      Menurut seorang sosiolog lain bernama Jonathan H. Turner (Dasgupta dan Sarageldin, 1999: 95) berpendapat bahwa kapital sosial menunjuk pada kekuatan yang meningkatkan potensi untuk berkembang ekonomi dalam suatu masyarakat dengan menciptakan dan memepertahankan hubungan sosial dan pola organisasi sosial.
6.      Dan menurut sosiolog Indonesia, Robert M.Z. Lawang, (2004) mendefinisikan kapital sosial sebagai semua kekuatan sosial komunitas yang dikonstruksikan oleh individu atau kelompok dengan mengacu pada struktur sosial yang menurut penilaian mereka dapat mencapai tujuan individual dan kelompok secara efisiensi.
7.      Adapun Nan Lin (2001: 17) membatasi pengertian kapital sosial sebagai suatu investasi dalm hubungan sosial oleh individu-individu melalui mana mereka memeperoleh akses terhadap sumber-sumber terlekat (embedded resources) untuk meningkatkan hasil yang diharapkan dari tindakan yang ekspresif atau instrumental.
Jadi ,dapat disimpulkan bahwa kapital sosial merupakan investasi sosial, yang meliputi sumber daya sosial seperti jaringan, kepercayaan, nilai, dan norma serta kekuatan menggerakkan, dalam struktur hubungan sosial untuk mencapai tujuan individual dan kelompok secara efisien dan efektif dengan kapital lainnya.
Mengikuti pendidikan formal dan informal, seseorang dapat memperoleh segal sumber daya sosial seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan norma. Terutama pendidikan formal, ketika seseorang menyalesaikan studi di suatu tingkatan pendidikan, segera dia memeperoleh predikat sebagai alumni dari suatu lembaga pendidikan formal di mana dia belajar. Kapital sosial yang di olah dari sumber daya jaringan alumni akan bertambah kuat bila orang tersebut mampu pula menciptakan suatu derajat kepercayaan antara dia dan para alumni lainnya.
Sumber daya sosial yang di peroleh dari lembaga pendidikan informal tampaknya kurang banyak di dapatkan di bandingkan seseorang dari pendidkan formal. Meskipun demikian, sumber daya sosial yang di peroleh pada pendidikan informal dapat di olah menjadi kapital sosial.
D.    Pendidikan Sebagai Kapital Budaya
Sistem pendidikan mengembangkan pola kelakuan tertentu sesuai dengan apa yang di harapkan oleh masyarakat dari murid-murid. Kehidupan di sekolah serta norma- norma yang berlaku di situ dapat di sebut kebudayaan sekolah. Timbulnya sub kebudayaan sekolah juga terjadi oleh sebab sebagian yang cukup besar dari waktu murid terpisah dari kehidupan orang dewasa. Dalam situasi serupa ini dapat berkembangpola kelakuan yang khas bagi anak muda yang tampak dari pakaian, bahasa, kebiasaan kegiatan-kegiatan serta upacara-upacara.[3]
Dalam suatu sisi, Bourdieu mendefinisikan kapital budaya, seperti dikutip Mahar dkk (2005: 16), sebagai selera bernilai budaya dan pola konsumsi. Kapital budaya, mencakup rentangan luas properti, seperti nilai, pendidikan, dan bentuk-bentuk bahasa. Di sisi lain, Bourdieu, menurut Ritzer dan Goodman (2004: 525), menjelaskan batasan kapital budaya sebagai berbagai pengetahuan yang sah. Lury (1998) melihat Bordieu membatasi kapital budaya sebagai kapital pengetahuan kompetensi yang dibutuhkan untuk membuat pembedaan atau penaksiran nilai seperti apakah suatu karya termasuk “seni” atau “bukan seni”. Penjelasan detail batasan Bourdieu tentang kapital budaya ditulis oleh Lee (2006: 58), kapital budaya didefinisikan sebagai kepemilikan kompetensi kultural tertentu, atau seperangkat pengetahuan kultural yang menyediakan bentuk konsumsi kultural yang dibedakan secara khusus dan klasifikasi rumit dari barang-barang kultural dan simbolis.
Kapital budaya merupakan kepemilikkan kompetensi atau pengetahuan kultural yang menuntun selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi tertentu, yang di lembagakan dalam bentuk kualifikasi pendidikan. Berdasarkan batasan seperyi ini, maka reproduksi sosial, yaitu pemeliharaan pengetahuan dan pengalaman dari satu generasi ke generasi berikutnya, “di pertahankan” melalui sistem pendidikan.
Dari pengertian tentang kapital budaya sudah jelas bahwa pendidikan memberikan seseorang modal pengetahuan dan kompetensi yang di butuhkan untuk membuat pembedaan atau penaksiran nilai. Pendidikan membentuk kompetensi dan pengetahuan kultural seseorang. Kompetensi dan pengetahuan kultural tersebut memberikan seseoarang preferensi dalam berfikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku dalam bahasa, nilai-nilai, asumsi-asumsi, dan model-model tentang keberhasilan dan kegagalan, cantik dan jelek, indah dan buruk, sehatb dan sakit, sopan dan alasan.

E.     Pendidikan Sebagai Kapital Simbolik
Menurut Bourdieu (1977: 183), kapital simbolik merupakan suatu bentuk kapital ekonomi fisikal yang telah mengalami transformasi dan, karenanya, telah tersamarkan, menghasilkan efeknya yang tepat sepanjang, menyembunyikan fakta bahwa ia tampil dalam bentuk-bentuk kapital ‘material ‘ yang adalah, pada hakikatnya, sumber efek-efeknya juga. Mahar dkk (2005:16) memahami prestise, status dan otoritas sebagai kapital simbolik dari Bourdieu. Sementara pemahaman Jenkins (2004: 125) serta Ritzer dan Goodman (2004: 526), kapital simbolik terwujud dalam prestise, status otoritas, dan kehormatan (gengsi) sosial. Adapun, Lee memahami ksapital simbolik dari Bourdieu sebagai kuantitas metaforis status dan prestise, yang berasal dari ketrampilan mengatur simbol sosial. Dari berbagai pemahaman para sosiolog ini, maka dapat disimpulkan bahwa kapital simbolik merupakan kapital yang terwujud dalam prestise, status, otoritas, dan kehormatan (gengsi) sosial, yang berasal dari ketrampilan mengatur simbolik.
Kemampuan mengatur simbol seseorang berbeda menurut prestise, status, otoritas, dan kehormatan (gengsi) sosial. Kemampuan mengatur simbol ini tidak di peroleh sejak lahir tetapi di dapat melalui pendidikan formal dan non formal serta reproduksi sosial lainnya seperti pendidikan informal dalam keluarga. keluarga kelas menengah atas di untungkan  dengan reproduksi sosial dalm keluarga sehingga kemampuan mengatur simbolnya lebih tajam dan kuat dibandingkan dengan kelas bawah.
Kompetisi dalam meraih prestise, status, otoritas, da kehormatan (gengsi) sosial, oleh karena itu, menguntungkan kelas menengah atas. Sebab pendidikan yang yang di masuki oleh anggota kelas bawah ternyata habittus dari kelas menengah atas. Sehingga kompetensi antara anggota kelas menengah atas dan bawah berjalan tidak seimbang. Kapital simbolik, oleh sebab itu, melanggengkan stratifikasi sosial yang ada.

F.     Hubungan Antara Kapital Manusia, Sosial, Budaya, dan Simbolik.
Pendidikan, berdasarkan diskusi di atas, memeiliki peranan penting sebagai agen sosialisasi terhadap semua kapital yang ada ( kapital manusia, sosial, budaya dan simbolik). Selain sebagai agen sosialisasi, pendidikan juga berperan sebagai agen hegemoni dalam kapital budaya dan kapital simbolik. Dengan demikian, pendidikan menjadi simpul dari pertemuan antara kesemua kapital yang ada. Secara ringkas akan di gambarkan melalui tabel di bawah ini.[4]

Jenis Kapital
Atribut
Peranan Pendidikan
Manusia
Pengetahuan, ketrampilan, kemampuan, dan stribut serupa lainnya
Agen sosialisasi
Sosial
Jaringan alumni, kepercayaan, dan kerjasama
Agen sosialisasi
Budaya
Kompetensi atau pengetahuan kultural
Agen sosialisasi dan hegemonik
Simbolik
Kemampuan mengatur simbolik
Agen sosialisasi dan hegemonik












BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

1.      Secara etimologis, kapital berasal dari kata “capital”, yang akar katanya dari kata latin, caput, berarti “kepala
2.      Pendidikan sebagai suatu sarana pengembangankualitas manusia, memiliki kontribusi langsung terhadap pertumbuhan pendapatan negara melalui peningkatan ketrampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja.
3.      kapital sosial merupakan investasi sosial, yang meliputi sumber daya sosial seperti jaringan, kepercayaan, nilai, dan norma serta kekuatan menggerakkan, dalam struktur hubungan sosial untuk mencapai tujuan individual dan kelompok secara efisien dan efektif dengan kapital lainnya
4.      Kapital budaya merupakan kepemilikkan kompetensi atau pengetahuan kultural yang menuntun selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi tertentu, yang di lembagakan dalam bentuk kualifikasi pendidikan. Pendidikan membentuk kompetensi dan pengetahuan kultural seseorang.
5.      Kapital simbolik merupakan kapital yang terwujud dalam prestise, status, otoritas, dan kehormatan (gengsi) sosial, yang berasal dari ketrampilan mengatur simbolik.Kompetisi dalam meraih prestise, status, otoritas, da kehormatan (gengsi) sosial, oleh karena itu, menguntungkan kelas menengah atas.
6.      Pendidikanmemeiliki peranan penting sebagai agen sosialisasi terhadap semua kapital yang ada ( kapital manusia, sosial, budaya dan simbolik). Selain sebagai agen sosialisasi, pendidikan juga berperan sebagai agen hegemoni dalam kapital budaya dan kapital simbolik.













DAFTAR PUSTAKA

·         Damsar, (2011), “Pengantar Sosiologi Pendidikan”, Jakarta: Kencana.
·         Nasution S, (1983), “ Sosiologi Pendidikan”, Bandung: Jemmars.


























[1] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Kencana, hal. 173-181
[2] Nasution S, Sosiologi Pendidikan, Bandung: Jemmars, hal. 33
[3]Nasution S, Sosiologi Pendidikan, Bandung: Jemmars, hal. 73
[4] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Kencana, hal. 196-204

Tidak ada komentar:

Posting Komentar