Sabtu, 04 Maret 2017

FILSAFAT PENDIDIKAN MOH ABDUH



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Muhammad ‘Abduh adalah tokoh pembaharu yang tidak asing lagi, dunia Islam dan Barat mengakuinya, bahkan pandangannya sering dijadikan rujukan dalam pembahasan ke-Islaman. Muhammad Abduh termasuk salah satu pembaharu agama dan sosial di Mesir pada abad ke 20 yang pengaruhnya sangat besar di dunia Islam. Dialah penganjur yang sukses dalam membuka pintu ijtihad untuk menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman modern.
Ia dilahirkan dalam situasi, dimana dunia Barat gencar-gencarnya melakukan kegiatan ekspansi ke daerah-daerah Islam, termasuk Mesir. Pada masa Muhammad ‘Abduh itu, ada dua golongan ekstrim: mempertahankan tradisi Arab-Islam; dan mengadakan pembaharuan yang murni merujuk pada Barat, sehingga nyaris melupakan nilai-nilai Timur dan Islam. Sayyid Qutub mengambarkan situasi dan kondisi masyarakat tempat Muhammad ‘Abduh hidup sebagai masyarakat yang kaku, beku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad serta mengabaikan peranan akal dalam memahami syari'at. Sementara, di Eropa khususnya, kehidupan masyarakat sangat mendewakan akal, terlebih setelah penemuan-penemuan ilmiah yang sangat mengagumkan ketika itu.
Sebagai seorang reformis, Muhammad ‘Abduh memandang bahwa pendidikan merupakan elemen penting bagi masyarakat Islam untuk kembali mendapatkan martabat yang telah lama hilang. Muhammad ‘Abduh ingin berperan di dalam kebangkitan peradaban umat yang tengah dihantam oleh badai keterbelakangan. Ia melihat bahwa jalan menuju itu adalah “pendidikan”, tetapi bukan setiap pendidikan, melainkan pendidikan yang berasaskan referensi keagamaan Islam.





B.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimana corak pemikiran dari Muhammad Abduh?
2.      Bagaimana ide pemikiran dan pembaharuan Muhammad Abduh mengenai pendidikan Islam?
3.      Bagaimana relevansi pemikiran pendidikan Islam menurut Muhammad Abduh dengan pendidikan Nasional?

C.   Tujuan
1.      Mengetahui corak pemikiran dari Muhammad Abduh
2.      Mengetahui ide pemikiran dan pembaharuan Muhammad Abduh mengenai pendidikan Islam
3.      Mengetahui relevansi pemikiran pendidikan Islam menurut Muhammad Abduh dengan pendidikan Nasional
























BAB II
PEMBAHASAN

A.     Biografi Tokoh
Nama lengkapnya adalah Muhammad ‘Abduh Hasan Khairullah. Tokoh ini akrab dipanggil dengan sebutan Muhammad Abduh. Ia dilahirkan di sebuah kampung bernama Mahallat Nasr, Syubra Khit, Provinsi Al-Bahirah, Mesir pada tahun 1266 H (1849 M). [1] Ayahnya bernama Akhsan Khairullah berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir[2], sedangkan ibunya adalah orang Arab, yang bernama Junaidah Uthman, yang menurut riwayat, silsilah ibunya sampai pada Umar bin Khattab ra. [3]
Pendidikan Muhammad ‘Abduh di mulai dengan belajar menulis dan membaca di rumah. Setelah beliau hapal kitab suci Al-Qur’an pada tahun 1863 M ayahnya mengirimnya ke Thamta untuk meluruskan bacaan dan tajwid di masjid al-Ahmadi. Namun karena metode pelajaran tidak sesuai yang diberikan gurunya seperti membiasakan menghapal istilah nahwu atau fiqh akhirnya Muhammad ‘Abduh kembali ke Mahallat Nasr dengan tekad tidak akan kembali lagi belajar.
Tahun 1866 M ‘Abduh meninggalkan isteri dan keluarganya menuju Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Tiga tahun kemudian, ketika Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir tahun 1871 M, Muhammad ‘Abduh giat belajar dan mendengar segala ide pembaharuan darinya. ‘Abduh mulai memperluas studinya sampai meliputi ilmu filsafat dan ilmu sosial serta politik. Afghani adalah seseorang yang aktif memberikan dorongan kepada murid-murid untuk menghadapi intervensi Eropa di negeri mereka dan pentingnya melihat umat Islam sebagai umat yang satu. ‘Abduh memutar jalur hidupnya dari tasawuf yang bersifat pantang dunia , lalu memasuki dunia aktivisme sosio-politik.
 ‘Abduh menyelesaikan studinya pada tahun 1877 M, dan mengajar pertama kali di Al-Azhar. Puncak karir Muhammad ‘Abduh dalam pembaharuannya, terutama di bidang pendidikan adalah ketika ia ditugaskan menjadi seorang mufti pertama Mesir. Posisi ini diperolehnya pada 03 Juni 1899 M. 
Beliau meninggal pada tanggal 11 Juli 1905 M. Banyaknya orang yang memberikan hormat di Kairo dan Alexandria, membuktikan betapa besar penghormatan orang kepada dirinya. Meskipun ‘Abduh mendapat serangan sengit karena pandangan dan tindakannya yang reformatif, namun Mesir dan Islam merasa kehilangan atas meninggalnya seorang pemimpin yang terkenal lemah lembut dan mendalam spiritualnya.

B.     Corak Pemikiran Muhammad Abduh
1.    Modernisasi
Semenjak perjumpaannya dengan Al-Afgani, Abduh berusaha mengadakan penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan zaman, seperti penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Gagasan penyesuaian inilah kemudian disebut dengan modernisasi. Sumber dari gagasan modernisasi Abduh tersebut bersumber dari penentangannya terhadap taqlid. Menurut Muhammad Abduh, Al-Qur’an  memerintahkan kepada umatnya untuk menggunakan akal sehat mereka, serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat terdahulu tanpa mengikuti secara pasti hujah-hujah yang menguatkan pendapat tersebut, walaupun pendapat itu dikemukakan oleh orang yang seyogyanya paling dihormati dan dipercaya. Abduh menetapkan tiga hal yang menjadi kriteria perbuatan taqlid ini, ketiga kriteria tersebut adalah:
a.       Sangat mengagung-agungkan para leluhur dan para guru mereka secara berlebihan.
b.      Mengiktikadkan agungnya pemuka-pemuka agama yang silam, seolah-olah telah mencapai kesempurnaan.
c.       Takut dibenci orang dan dikritik bila ia melepaskan fikirannya serta melatih dirinya untuk berpegang kepada apa yang dianggap benar secara mutlak.
Berdasarkan pada pandangan tersebut, Abduh memahami Al-Qur’an, terutama yang berkaitan dengan kecaman terhadap sikap dan perbuatan taqlid tersebut, walaupun menyangkut sikap kaum musrikin. Selanjutnya ia mengecam kaum muslimin, khususnya yang berpengetahuan yang mengikuti pendapat ulama-ulama terdahulu tanpa memperhatikan hujahnya.
Berkaitan dengan modernisasi ini, Rahman memberikan pernyataan bahwa seorang modernis biasanya memiliki beberapa ciri, diantaranya selalu berusaha menghadapi segala situasi dengan penuh keyakinan serta keberanian, dan gerakannya bersifat kerakyatan, serta senantiasa melibatkan pemikiran pribadi. Kemudian kaum modernis yang telah menjadikan reformasi sebagai tolak ukurnya adalah mereka yang berusaha menciptakan ikatan-ikatan positif antara pemikiran Qur’ani dengan pemikiran modern.[4] Perpaduan antara kedua pemikiran ini telah melahirkan beberapa lembaga sosial dan moral modern dengan berorientasi pada Al-Qur’an.
Muhammad Abduh menyikapi peradaban Barat modern dengan selektif dan kritis. Dia senantiasa menggunakan prinsip ijtihad sebagai metode utama untuk meretas kebekuan pemikiran kaum muslimin. Abduh tidak pernah berfikir, apalagi berusaha untuk mengambil alih secara utuh segala yang datang dari dunia Barat. Karena ia beranggapan apa bila itu dilakukan berarti mengubah taqlid yang lama dengan taqlid yang baru, juga karena hal tersebut tidak akan berguna, disebabkan adanya perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial masyarakat masing-masing daerah. Islam menurut Abduh harus mampu meluruskan kepincangan-kepincangan perbedaan Barat serta membersihkan dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan demikian, perbedaan tersebut pada akhirnya, akan menjadi pendukung terkuat ajaran Islam, sesaat setelah ia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam.

2.      Reformis
Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu yang corak pembaharuannya bersifat reformistik-rekonsturktif. Ini dikarenakan Muhammad Abduh senantiasa melihat tradisi dengan perpektif membangun kembali. Agar tradisi suatu masyarakat dapat survive dan terus diterima, ia harus dibangun kembali. Pembangunan kembali ini tentunya dengan kerangka modern dan prasyarat rasional. Pemikiran pembaharuan yang bercorak reformistik dalam bentuknya yang pertama secara filosofis.[5]

3.      Konservatif
Gerakan pembaharuan yang diinagurasikan Muhammad Abduh bersifat konservatif, hal ini terlihat dari sikap Muhammad Abduh yang tidak bermaksud mengubah potret diri Islam. Risalah Tauhid merupakan bukti dari pemikiran ini. Muhammad Abduh dalam karya ini berupaya menegaskan kembali potret diri Islam yang telah mencapai finalitas dan keunggulan.[6]
Demikianlah muncul ke permukaan ketiga tipologi pemikiran, yaitu modernis, reformis, konservatif, yang dilontarkan berkaitan dengan pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh. Ketiganya merupakan refleksi dalam membaca segala pemikiran Muhammad Abduh. Dalam pembacaan itu corak pertama lebih menekankan pada aspek selektifitas dan sikap kritis Muhammad Abduh dalam menyikapi dan memandang peradaban Barat. Corak kedua lebih menekankan kepada upaya Muhammad Abduh dalam membangun kembali tradisi Islam secara rekonstruktif. Sedangkan corak yang ketiga memfokuskan bacaannya kepada upaya Muhammad Abduh dalam membela Islam melalui finalitas dan keunggulan Islam.

C.     Pembaharuan Pendidikan Islam Muhammad ‘Abduh
Pembaharuan dalam bidang pendidikan yang menjadi prioritas utama Muhammad Abduh, berorientasi pada pendidikan Barat. Ia mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran Barat. Tipe pertama adalah sekolah tradisional, sedangkan tipe kedua adalah sekolah-sekolah modern yang didirikan pemerintah Mesir oleh para misionaris asing. Kedua tipe lembaga pendidikan tersebut tidak mempunyai hubungan sama sekali, dan masing-masing berdiri sendiri.
Adanya dua tipe pendidikan tersebut juga berdampak kepada munculnya dua kelas sosial dengan motivasi yang berbeda. Tipe yang pertama melahirkan para ulama dan tokoh masyarakat yang mempertahankan tradisi, sedangkan tipe sekolah kedua melahirkan kelas elit generasi muda yang mendewakan dan menerima perkembangan dari Barat tanpa melakukan filterisasi.
Muhammad Abduh melihat adanya segi-segi negatif dari kedua bentuk pemikiran itu, ia memandang bahwa jika pola fikir yang pertama tetap di pertahankan maka akan mengakibatkan umat Islam tertinggal jauh dan semakin terdesak oleh arus kehidupan modern. Semetara pola fikir yang kedua, Muhammad Abduh melihat bahwa pemikiran modern yang mereka serap dari Barat tanpa nilai “religius” merupakan bahaya yang mengancam sendi agama dan moral.
Dari sinilah Muhammad Abduh melihat perlunya mengadakan perbaikan terhadap kedua institusi itu sehingga dua pola pendidikan tersebut saling menopang demi mencapai suatu kemajuan serta upaya untuk mempersempit jurang pemisah antara dua lembaga pendidikan yang kelak akan melahirkan para generasi penerus.
Langkah yang di tempuh Muhammad Abduh untuk meminimalisir kesenjangan dualisme pendidikan adalah upaya menselaraskan, menyeimbangkan antara porsi pelajaran agama dengan pelajaran umum. Muhammad Abduh mempunyai beberapa langkah untuk memberdayakan sistem Islam antara lain yaitu:

1.      Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam
Untuk memberdayakan sistem pendidikan Islam, Muhammad Abduh menetapkan tujuan, pendidikan Islam yang di rumuskan sendiri yakni: Mendidik jiwa dan akal serta menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat.[7] Dari rumusan tujuan pendidikan tersebut, dapat dipahami bahwa yang ingin dicapai oleh Muhammad Abduh adalah tujuan yang mencakup aspek kognitif (akal) dan aspek afektif (spritual). Pendidikan akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berpikir dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dengan menanamkan kebiasaan berpikir, Muhammad Abduh berharap kebekuan intelektual yang melanda kaum muslimin saat itu dapat dicairkan dan dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak hanya mampu berpikir kritis, juga memiliki akhlak mulia dan jiwa yang bersih.

2.      Metode Muhammad Abduh
Dalam bidang pendidikan, Muhammad Abduh cenderung menggunakan metode yang didasarkan filsafat rasionalis.[8] Pengaruh gurunya (Jamaluddin) ternyata cukup besar terhadap metode pembelajaran yang ia terapkan setelah menjadi seorang pendidik. Metode yang digunakan oleh Jamaluddin adalah metode praktis (‘maliyyah) yang mengutamakan pemberian pengertian dengan cara diskusi.[9]
Muhammad Abduh mengubah cara memperoleh ilmu yang umumnya dengan metode hafalan menjadi metode rasional dan pemahaman (insight). Disamping menghafal, siswa juga diharuskan memahami materi yang dijelaskan guru. Muhammad Abduh juga menghidupkan kembali metode munazharah (forum perdebatan umum yang menguji kekuatan teori dan pandangan seseorang) dalam memahami pengetahuan dan menjauhkan metode taklid (mengikuti pendapat orang lain) buta pada masa ulama. Ia juga mengembangkan kebebasan ilmiah dikalangan mahasiswa Al-Azhar. Selain itu ia juga membuat metode yang sistematis dalam menafsirkan Al-Quran yang didasarkan pada lima prinsip:
a)      Menyesuaikan peristiwa yang ada pada masanya dengan nash Al-Quran
b)      Menjadikan Al-Quran sebagai sebuah kesatuan
c)      Menjadikan surat sebagai dasar untuk memahami ayat
d)     Menyederhanakan bahasa dalam penafsiran
e)      Tidak melalaikan peristiwa-perisiwa sejarah untuk menafsirkan ayat-ayat yang turun pada waktu itu

3.      Menggagas Kurikulum Pendidikan Islam Yang Integral
Di samping pendidikan akal, Muhammad Abduh juga mementingkan pendidikan spiritual agar lahir generasi yang mampu berfikir dan punya akhlak yang mulia serta jiwa yang bersih. Tujuan pedidikan yang demikian ia wujudkan dalam seperangkat kurikulum sejak dari tingkat dasar sampai ke tingkat atas. Kurikulum tersebut adalah.

a)         Kurikulum Al-Azhar
Karir Muhammad Abduh dimulai setelah ia menamatkan kuliahnya pada tahun 1877, atas usaha Perdana Mentri Riadl Pasya, Ia diangkat menjadi dosen pada Universitas Darul Ulum, disamping itu menjadi dosen pula pada Universitas Al-Azhar. Ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang terbilang radikal sesuai dengan cita-citanya, yaitu memasukkan udara baru yang segar pada perguruan-perguruan tinggi Islam, menghidupkan Islam dengan metode-metode baru yang sesuai dengan kemajuan zaman, mengembangkan kesusastraan Arab sehingga menjadi bahasa yang kaya dan hidup, serta melenyapkan cara-cara lama yang kolot dan fanatic.
Dalam mengajar, Muhammad Abduh menekankan kepada mahasiswanya untuk berpikiran kritis, rasional dan tidak harus terikat kepada suatu pendapat, serta menjauhi paham fatalisme, karena ketidak kritisan dan fatalisme umat Islam yang menjadi penyebab kemunduran umat, kelemahan umat, absennya jihad umat, absennya kemajuan kultur umat dan tercabutnya umat dari norma-norma dasar pendidikan Islam
Ia menekankan pentingnya pemberian pengertian dalam setiap pelajaran yang diberikan. Ia memperingatkan para pendidik untuk tidak mengajar murid dengan metode menghafal, karena metode demikian hanya akan merusak daya nalar, seperti yang dialaminya ketika belajar di sekolah formasi di Masjid Ahmadi di Thanta.[10]
Krisis intelektual dalam dunia Islam yang berlarut-larut terjadi pada saat itu. Salah satu penyebab dari krisis tersebut adalah dikarenakan adanya dikotomi Ilmu Pengetahuan pada saat itu, sehingga umat Islam jauh tertinggal secara kultural maupun peradaban. Begitupun yang terjadi di Al-Azhar, Muhammad Abduh yakin bahwa apabila pendidikan di Al-Azhar dapat diperbaiki, maka kondisi umat Islam akan ikut baik. Menurutnya  perlu diadakan pembenahan administrasi, kurikulumnya diperluas, mencakup ilmu-ilmu modern, sehingga Al-Azhar dapat berdiri sejajar dengan universitas-universitas lain di Eropa serta menjadi mercusuar dan pelita bagi kaum muslimin.
Adapun usaha Muhammad Abduh menggajukan Universitas Al-Azhar antara lain:
1)        Memasukan ilmu-ilmu modern yang berkembang di Eropa kedalam Al-Azhar.
2)        Mengubah sistem pendidikan dari mulai mempelajari ilmu dengan sistem hafalan menjadi sistem pemahaman dan penalaran.
3)        Menghidupkan metode munazaroh (discution) sebelum mengarah ke taqlid
4)        Membuat peraturan-peraturan tentang pembelajaran seperti larangan membaca hasyiyah (komentar-komentar) dan syarh (penjelasan panjang lebar tentang teks pembelajaran) kepada mahasiswa untuk empat tahun pertama.
5)        Masa belajar di perpanjang dan memperpendek masa liburan.

b)      Sekolah Dasar Negeri
Muhammad Abduh berpendapat bahwa agama adalah dasar pembentuk jiwa dan pribadi seorang manusia. Maka dari itu hendaknya mata pelajaran agama diajarkan sedini mungkin pada anak sejak mereka duduk di bangku SD. Mengacu pada statement bahwa agama Islam adalah dasar pembentuk jiwa dan pribadi seorang muslim, diharapkan dengan memiliki jiwa kepribadian seorang muslim, maka masyarakat Mesir akan mempunyai jiwa kebersamaan dan nasionalisme yang dapat mengantarkan masyarakat mesir memperoleh kemajuan dalam kehidupan berbangsa.[11]

c)    Sekolah Tingkat Atas
Salah satu upaya memperbaiki pendidikan di Mesir adalah dengan mendirikan sekolah menengah pemerintah untuk mencetak ahli dalam berbagai lapangan administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, dan sebagainya. Pada jenjang ini, Muhammad Abduh merasa perlu menambahkan materi-materi yang berhubungan dengan agama islam. Dengan adanya materi tentang agama, diharapkan para calon pegawai dan perwira militer memiliki bekal agama dan moral yang baik.[12]
Ketiga jenis sekolah yang dibentuk Muhammad Abduh bukan bertujuan menciptakan kelompok social secara eksklusif, melainkan memiliki tujuan untuk melayani kepentingan masyarakat. Prinsip yang diterapkan Muhammad Abduh adalah perlunya mendasari pendidikan dengan moral dan agama. Pengajaran diperlukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, sedangkan pendidikan dipandang sebagai alat yang paling efektif untuk melakukan suatu perubahan.
Diantara konsentrasi pembaharuan pendidikan Muhammad Abduh juga adalah tentang pendidikan perempuan. Menurutnya, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam menerima layanan pendidikan. Wanita harus dilepaskan dari rantai kebodohan maka dari itu perlu diberikan pendidikan. Dalam mengangkat harkat martabat perempuan, menurutnya ada beberapa hal yang harus diperjuangkan pembelajaran buat perempuan; mempersempit talak, dan pelarangan poligami. Semua pemikiran Muhammad Abduh tentang perempuan tertuang dan dikembangkan dalam Tahrir al-Mar'ah karya muridnya, Qosim Amin
Dalam bidang pendidikan non formal, Muhammad Abduh menyebutkan usaha perbaikan (islah), dalam hal ini Muhammad Abduh melihat perlunya campur tangan pemerintah terutama dalam hal mempersiapkan para pendakwah. Tugas mereka yang utama antara lain:
1)        Menyampaikan kewajiban dan pentingnya belajar
2)        Mendidik mereka dengan memberikan pelajaran tentang apa yang mereka lupakan atau yang belum mereka ketahui.
3)        Meniupkan ke dalam jiwa mereka cinta pada negara, tanah air, dan pemimpin.
Pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dipengaruhi oleh faktor situasi keagamaan dan situasi pendidikan yang terjadi pada masa itu. Keadaan sosial keagamaan di Mesir saat itu cukup memprihatinkan. Krisis yang menimpa umat bukan hanya dalam bidang akidah dan syariah, tapi juga akhlak dan moral. Pemikiran Muhammad Abduh sesuai dengan yang ada pada saat itu. Pembaruan bidang pendidikan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh di Al-Azhar ternyata juga berpengaruh besar pada institusi pendidikan yang ada di Mesir bahkan ide penbaharuannya ditulis dan disebarkan pula melalui majalah terkenal di Mesir, yaitu Al- Manar dan Al-Urwat Al- Wusqa.[13]
Muhammad Abduh berusaha membuat kurikulum yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat mesir pada saat itu. Ia berpendapat bahwa sekolah khusus yang mendidik para ulama hendaknya diberi mata pelajaran yang luas, sehingga Ia memasukkan beberapa ilmu tambahan pada kurikulum Al-Azhar, antara lain ilmu filsafat, logika, dan ilmu pengetahuan modern. Hal ini ia maksud untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, yakni para ulama yang modern.
Dari beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh, meskipun belum sempat ia aplikasikan sepenuhnya secara temporal. Telah memberikan pengaruh positif terhadap lembaga pendididkan Islam. Usaha Muhammad Abduh kurang begitu lancar disebabkan mendapat tantangan dari kalangan ulama yang kuat berpegang pada tradisi lama teguh dalam mempertahankanya.

D.     Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh dengan Pendidikan Nasional
Konsep pendidikan Muhammad Abduh ditelaah dari faktor-faktor pendidikan menunjukkan adanya relevansinya dengan Sistem Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, terutama pada tujuan pendidikan Nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk peserta didik yang memiliki iman dan takwa.[14]
Sumbangsi pemikiran Muhammad Abduh tentang metode pengajaran relevan dengan pendidikan Indonesia, hal itu dapat dilihat disekolah-sekolah yang tersebar di Indonesia. Metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar tak selalu metode menghapal. Guru berusaha menyajikan metode-metode yang dapat dipahami anak didik dengan mudah, antara lain metode diskusi, kuis, maupun praktek.
Jika dilihat dari segi konsep pendidikan yang dikeluarkan Muhammad Abduh penulis merasa kurang relevan dengan keadaan di Indonesia saat ini. Muhammad Abduh ingin menggabungkan antara kecerdasan generasi  muda yang tidak lepas dari tuntunan islam, meski di Indonesia sekarang ini sudah ada beberapa sekolah yang menggunakan pemikiran beliau, namun masih banyak sekolah-sekolah umum yang kurang mementingkan pelajaran agama (terutama Islam). Hal tersebut bisa jadi karena keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk, dimana terdapat bermacam-macam perbedaan, salah satunya adalah masalah agama.[15]
                                                              

















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Corak pemikiran Muhammad Abduh, ada 3 yaitu: pertama modernisasi, semenjak perjumpaannya dengan Al-Afgani, Abduh berusaha mengadakan penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan zaman, seperti penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua reformis, Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu yang corak pembaharuannya bersifat reformistik-rekonsturktif. Ini dikarenakan Muhammad Abduh senantiasa melihat tradisi dengan perpektif membangun kembali. Agar tradisi suatu masyarakat dapat survive dan terus diterima. Ketiga konservatif, gerakan pembaharuan yang diinagurasikan Muhammad Abduh bersifat konservatif, hal ini terlihat dari sikap Muhammad Abduh yang berupaya menegaskan kembali potret diri Islam yang telah mencapai finalitas dan keunggulan
Pembaharuan pendidikan Islam Muhammad Abduh, diantaranya: 1) Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam, 2) Metode Muhammad Abduh dan 3) Menggagas Kurikulum Pendidikan Islam Yang Integral
Adapun relevansi pemikiran pendidikan Islam Muhammad Abduh dengan pendidikan Nasional yaitu bahwa konsep pendidikan Muhammad Abduh ditelaah dari faktor-faktor pendidikan menunjukkan adanya relevansinya dengan Sistem Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, terutama pada tujuan pendidikan Nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk peserta didik yang memiliki iman dan takwa







DAFTAR PUSTAKA

Suharto, Toto. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-ruzz
Lubis, Arbiyah. 1993. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh. Jakarta: PT. Bulan Bintang
Saefudin, Didin. 2003. Pemikiran Modern dan Post Modern Islam. Jakarta: Grasindo
Nasution, Harun. 1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muktazilah. Jakarta: PT Grafindo Persada
Syar’I, Ahmad. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus
Ysmansyah. 2007. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Nizar. 2006. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus
Kholid, Muhammad Fathoni. 2005. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Agama RI



[1]  Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Arruzz, 2006),  hlm. 215
[2]  Dr. Arabiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 24&112.
[3]  Didin Saefudin, Pemikiran Modern dan Post Modern Islam (Jakarta: Grasindo, 2003), hlm. 19.
[4] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Arruzz, 2006), hlm. 258
[5]  Ibid, Hlm.265
[6]  Ibid, Hlm. 266
[7] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muktazilah (Jakarta: PT Grafindo Persada,
1987) hlm. 309
[8]  Ahmad Syar’I, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005) hlm. 108
[9]  Ysmansyah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007) hlm. 242
[10]  Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006) hlm. 250
[11]  Ysmansyah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007) hlm. 242
[12]  Ibid
[13]  Ahmad Syar’I, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005) hlm.108
[14]  Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005) Hlm. 10