BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Pendidikan sebagai suatu investasi ataupun modal
negara jangka panjang. Maksud ungkapan investasi ini mengacu kepada peningkatan
dan pengembangan pendidikan di negara kita, Indonesia.
Peran pengetahuan dan pemberdayaan sumber daya manusia itu sangat penting.
Kemajuan sebuah negara, salah satunya sangat ditentukan oleh mutu pengelolaan
sektor pendidikan. Ketika struktur masyarakat semakin berkembang dan kompleks,
maka kebutuhan pengetahuan dan pemberdayaan masyarakat pun ikut meningkat.
Human capital merupakan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan seseorang
yang dapat di gunakan untuk menghasilkan layanan professional dan economic
rent. Sedangkan pengertian teori Human Capital adalah suatu pemikiran yang
menganggap bahwa manusia merupakan suatu bentuk kapital atau barang modal
sebagaimana barang-barang modal lainnya, seperti tanah, gedung, mesin dan
sebagainya. Human Capital juga dapat didefinisikan sebagai jumlah total dari
pengetahuan, skill dan kecerdasan rakyat dari suatu negara.
Konsep pendidikan
sebagai sebuah investasi dalam bentuk Human Capital (Modal Manusia) telah
berkambang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap Negara bahwa
pembangunan sektor pendidikan untuk meningkatkan modal manusia merupakan
prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya.
- RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Pendidikan sebagai Kapital?
2. Apa yang dimaksud dengan Pendidikan sebagai Kapital Manusia, Sosial, Budaya
dan Simbolik?
- TUJUAN PENULISAN
1. Mahasiswa mengetahui maksud dari Pendidikan
sebagai Kapital
2. Mahasiswa mengetahui pengertian dari
Pendidikan sebagai Kapital Manusia, Sosial, Budaya, dan Simbolik.
BAB II
PEMBAHASAN
PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL MANUSIA,
KAPITAL SOSIAL, KAPITAL BUDAYA, KAPITAL SIMBOLIK
A.
Pengertian
Kapital
Secara etimologis, kapital berasal dari kata
“capital”, yang akar katanya dari kata latin, caput, berarti “kepala”. Adapun
artinya di pahami, pada abad ke-12 dan ke-13, adalah dana, persediaan barang,
sejumlah uang dan bunga uang pinjaman.
Di sini, “ capital” tidak di terjemahkan sebagai
modal seperti kelaziman yang dilakukan oleh banyak orang. Alasannya seperti
yang dikemukakan oleh Lawang dalam bukunya “ Kapital Sosial dalam Perspektif
Sosiologi Suatu Pengantar” yaitu: pertama, capital (Inggris) memang berarti
modal, boleh dalam bentuk yang biasnya di gunakan untuk belanja barang kapital
fisik (physical capital goods) yang memungkinkan suatu investasi dapat
berjalan. Kedua, dalam bahasa Indonesia, orang sering menggunakan istilah “modal
dengkul”, artinya tidak ada uang untuk di jadikan modal bagi belanja barang
kapital fisik, kecuali tenaga orang itu sendiri, dalam pengertian tenaga fisik,
juga dalam pengertian ketrampilan dan gabungan keduanya. Ketiga, konsep kapital
berkait dengan suatu investasi. Oleh karena itu, kapital berhubung dengan suatu
proses yang cukup panjang, yang tidak dapat langsung di gunakan seperti halnya
“ dengkul” yang ada di depan mata dan siap di gunakan.
Pada periode sejarah perkembangan teori neokapital,
kapital berkembang dalam berbagai bentuk dan dimensi seperti kapital manusia,
kapital sosial, kapital budaya, dan kapital simbolik. Kesemua kapital baru itu
berkembang berdasarkan gagasan awal tentang kapital, yaitu kapital dilihat sebagai
suatu bentuk nilai surplus dan investasi yang diharapkan pengembaliannya dalam
berbagai bentuk seperti keuntungan, pendapatan, laba, perolehan, kelebihan, dan
kesempatan.
B.
Pendidikan
Sebagai Kapital Manusia
Gagasan
kapital manusia yang diajukan Schultz melalui “Investment in Human Capital”
adalah bahwa proses perolehan pengetahuan dan ketrampilan melalui pendidikan
bukan sekadar sebagai suatu kegiatan konsumtif, melainkan suatu bentuk
investasi sumber daya manusia (SDM). Pendidikan sebagai suatu sarana
pengembangankualitas manusia, memiliki kontribusi langsung terhadap pertumbuhan
pendapatan negara melalui peningkatan ketrampilan dan kemampuan produksi dari
tenaga kerja.
Kapital
manusia diciptakan dengan mengubah manusia dengan memeberikan mereka ketrampilan
dan kemampuan yang memampukan mereka bertindak dengan cara-cara yang baru.
Kapital manusia tidak berwujud, ia diwujudkaan dalam ketrampilan dan
pengetahuan yang di pelajari oleh individu.
Akar perkembangan teori kapital manusia dapat di
telusuri dalam pemikiran peletak dasar ilmu ekonomimodern, yaitu Adam Smith,
yang menurutnya, kapital manusia terdiri atas kemampuan dan kecakapan yang di
peroleh semua anggota masyarakat. Perolehan kemampuan, yang dapat dilakukan
melalui pendidikan, belajar sendiri, atau belajarbsambil bekerja memerlukan
biaya yang harus di keluarkan oleh yang bersangkutan. Biaya suatu pengorbana
ini di keluarkan untuk memudahkan mencari pekerjaan, serta memperoleh
pendapatan yang layak.
Teori kapital manusia, seperti teori yang lainnya,
menuai beberapa kritik. Ace Suryadi (1999) menemukan beberapa kritik yang
ditujukan pada teori kapital manusia dan dikelompokkan ke dalam empat kelompok
besar yaitu:
Satu, Pengaruh Tidak Langsung. Suryadi (1999:
65-66), mendapatkan penelitian Herbert Gintis yang menemukan bahwa pendidikan
atau pelatihan memang penting bagi tenaga kerja, tetapi tidak secara langsung
dalam pengembangan kemampuan dan keterampilan.
Dua, Efek Kredesianlisme. Mengutip Ivan Berg,
Suryadi selanjutnya menemukan bahwa perluasan pendidikan hanya memberikan
pengaruh yang sangat kecil terhadap produktivitas tenaga kerja. Perluasan
kesempatan pendidikan justru menyebabkan pasokan berlebihan tenaga kerja
terdidik dengan rentangan kualifikasi tenaga kerja yang semakin besar karena sertifikasi
pendidikan telah dilegitimasikan sebagai syarat penting untuk mendapat
pekerjaan. Ketika kemampuan dan keterampilan menjadi syarat dalam pengangkatan
tenaga kerja, maka sertifikat dan ijazah bukan merupakan hal utama dalam
pengangkatan pegawai atau tenaga kerja (1999:66-67
Tiga, Asumsi “Screening Device”. Merujuk Keneth
Arrow, Suryadi (1999: 67) menyebutkan bahwa pendidikan dipandang sebagai
screening device, karena pendidikan tidak secara langsung meningkatkan
produktivitas dan keterampilan lulusan sebagai calon pegawai. Pendidikan
dilihat sebagai pembenaran terhadap seleksi dan penentuan gaji pegawai.
Empat, Regularitas. Menurut suryadi (1996: 67-68),
keteraturan atau regularitas dalam penemuan-penemuan penelitian tentang kapital
manusia tidak dapat digeneralisasikan, karena karena sangat bergantung pada
karakteristik dari segmen masyarakatnya. Oleh karena itu, teori kapital manusia
mungkin berlaku pada dua segmen masyarakat yang berkarakteristik ekstrem satu
sama lainnya, yaitu pada kelompok masyarakat pendidikan sangat tinggi dan
kelompok masyarakat sangat rendah.
Dari pengertian konsep dan teori kapital manusia
yang berkembang terlihat bahwa pengetahuan, ketrampilan, kemampuan, dan atribut
serupa lainnya yang di peroleh seseorang yang di perlukan untuk melakukan suatu
kegiatan dalam kehidupannya dapat di peroleh melalui berbagai pendidikan, yaitu
pendidikan formal, seperti di sekolah, pendidikan nonformal seperti pelatihan
di tempat kursus, maupun pendidikan informal seperti belajar life skill di
surau. Kesemua pengetahuan, ketrampialn, kemampuan, dan stribut serupa lainnya
ini di pandang sebagai kapital manusia.[1]
C.
Pendidikan
Sebagai Kapital Sosial
Dalam berbagai bidang studi, tingkat pendidikan
tertinggi yang di peroleh seseorang di gunakan sebagai indeks kedudukan
sosialnya. Menurut penelitian terdapat korelasi yang tinggi antara kedudukan
sosial seseorang dengan tingkat pendidikan yang telah di tempuhnya. Walaupun
tingkat sosial seseorang ttidak dapat di ramalkan sepenuhnya berdasarkan pendidikannya
, namun pendidikan tinggi bertalian erat dengan kedudukan sosisal yang tinggi.
Ini tidak berarti bahwa pendidikan tinggi dengan sendirinya menjamin kedudukan
sosial yang tinggi.[2]
Terdapat beberapa pemikiran yang berkembang tentan
definisi kapital sosial. Berikut beberapa pengertian yang di kumpulkan beberapa
ahli tentang kapital sosial :
1. Menurut
Piere Bourdieu (1986) : kapital sosial sebagai “ sumber daya aktual dan
potensial yang dimiliki oleh seseorang berasal dari jaringan sosial yang
terlembaga serta berlangsung terus-menerus dalam bentuk pengakuan dan
perkenalan timbal balik (dengan kata lain, keanggotaan dalam kelompok sosial)
yang memeberikan ke[ada anggoatanya berbagai bentuk dukungan kolektif”
2. Menurut
James Coleman (2008:268) : kapital sosial sebagai “ seperangakat sumber daya
yang inheren dalam hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas
serta sangat berguna bagi pengembangan kognitif dan sosial seorang anak.
Coleman juga menambahkan bahwab kapital sosial merupakan “aspek dari struktur
sosial serta memfasilitasi tindakan individu dalam struktur sosial.”
3. Alejandro
Portes (1995:12-13) : Ia membatasi kapital sosial sebagai “ kemampuan individu
untuk mengatur sumber-sumber langka berdasarkan keanggotaan mereka dalam
jaringan atau struktur sosial yang lebih luas.
4. Adapun
menurut seoarang ilmuan politik Robert Putnam (1999) mendefinisikan kapital
sosial sebagai “jaringan, nilai, dan kepercayaan yang timbul di antara para
anggota perkumpulan, yang memfasilitasi koordinasi dan kerja sama untuk manfaat
bersama.”
5. Menurut
seorang sosiolog lain bernama Jonathan H. Turner (Dasgupta dan Sarageldin,
1999: 95) berpendapat bahwa kapital sosial menunjuk pada kekuatan yang
meningkatkan potensi untuk berkembang ekonomi dalam suatu masyarakat dengan menciptakan
dan memepertahankan hubungan sosial dan pola organisasi sosial.
6. Dan
menurut sosiolog Indonesia, Robert M.Z. Lawang, (2004) mendefinisikan kapital
sosial sebagai semua kekuatan sosial komunitas yang dikonstruksikan oleh
individu atau kelompok dengan mengacu pada struktur sosial yang menurut
penilaian mereka dapat mencapai tujuan individual dan kelompok secara
efisiensi.
7. Adapun
Nan Lin (2001: 17) membatasi pengertian kapital sosial sebagai suatu investasi
dalm hubungan sosial oleh individu-individu melalui mana mereka memeperoleh
akses terhadap sumber-sumber terlekat (embedded resources) untuk meningkatkan
hasil yang diharapkan dari tindakan yang ekspresif atau instrumental.
Jadi ,dapat disimpulkan bahwa kapital
sosial merupakan investasi sosial, yang meliputi sumber daya sosial seperti
jaringan, kepercayaan, nilai, dan norma serta kekuatan menggerakkan, dalam
struktur hubungan sosial untuk mencapai tujuan individual dan kelompok secara
efisien dan efektif dengan kapital lainnya.
Mengikuti pendidikan formal dan
informal, seseorang dapat memperoleh segal sumber daya sosial seperti jaringan,
kepercayaan, nilai dan norma. Terutama pendidikan formal, ketika seseorang
menyalesaikan studi di suatu tingkatan pendidikan, segera dia memeperoleh
predikat sebagai alumni dari suatu lembaga pendidikan formal di mana dia
belajar. Kapital sosial yang di olah dari sumber daya jaringan alumni akan
bertambah kuat bila orang tersebut mampu pula menciptakan suatu derajat
kepercayaan antara dia dan para alumni lainnya.
Sumber daya sosial yang di peroleh dari
lembaga pendidikan informal tampaknya kurang banyak di dapatkan di bandingkan
seseorang dari pendidkan formal. Meskipun demikian, sumber daya sosial yang di
peroleh pada pendidikan informal dapat di olah menjadi kapital sosial.
D.
Pendidikan
Sebagai Kapital Budaya
Sistem pendidikan mengembangkan pola kelakuan
tertentu sesuai dengan apa yang di harapkan oleh masyarakat dari murid-murid.
Kehidupan di sekolah serta norma- norma yang berlaku di situ dapat di sebut
kebudayaan sekolah. Timbulnya sub kebudayaan sekolah juga terjadi oleh sebab
sebagian yang cukup besar dari waktu murid terpisah dari kehidupan orang
dewasa. Dalam situasi serupa ini dapat berkembangpola kelakuan yang khas bagi
anak muda yang tampak dari pakaian, bahasa, kebiasaan kegiatan-kegiatan serta
upacara-upacara.[3]
Dalam suatu sisi, Bourdieu mendefinisikan kapital
budaya, seperti dikutip Mahar dkk (2005: 16), sebagai selera bernilai budaya
dan pola konsumsi. Kapital budaya, mencakup rentangan luas properti, seperti
nilai, pendidikan, dan bentuk-bentuk bahasa. Di sisi lain, Bourdieu, menurut
Ritzer dan Goodman (2004: 525), menjelaskan batasan kapital budaya sebagai
berbagai pengetahuan yang sah. Lury (1998) melihat Bordieu membatasi kapital
budaya sebagai kapital pengetahuan kompetensi yang dibutuhkan untuk membuat
pembedaan atau penaksiran nilai seperti apakah suatu karya termasuk “seni” atau
“bukan seni”. Penjelasan detail batasan Bourdieu tentang kapital budaya ditulis
oleh Lee (2006: 58), kapital budaya didefinisikan sebagai kepemilikan
kompetensi kultural tertentu, atau seperangkat pengetahuan kultural yang
menyediakan bentuk konsumsi kultural yang dibedakan secara khusus dan
klasifikasi rumit dari barang-barang kultural dan simbolis.
Kapital budaya merupakan kepemilikkan kompetensi
atau pengetahuan kultural yang menuntun selera bernilai budaya dan pola-pola
konsumsi tertentu, yang di lembagakan dalam bentuk kualifikasi pendidikan.
Berdasarkan batasan seperyi ini, maka reproduksi sosial, yaitu pemeliharaan pengetahuan
dan pengalaman dari satu generasi ke generasi berikutnya, “di pertahankan”
melalui sistem pendidikan.
Dari pengertian tentang kapital budaya sudah jelas
bahwa pendidikan memberikan seseorang modal pengetahuan dan kompetensi yang di
butuhkan untuk membuat pembedaan atau penaksiran nilai. Pendidikan membentuk
kompetensi dan pengetahuan kultural seseorang. Kompetensi dan pengetahuan
kultural tersebut memberikan seseoarang preferensi dalam berfikir, bersikap,
bertindak, dan berperilaku dalam bahasa, nilai-nilai, asumsi-asumsi, dan
model-model tentang keberhasilan dan kegagalan, cantik dan jelek, indah dan
buruk, sehatb dan sakit, sopan dan alasan.
E.
Pendidikan
Sebagai Kapital Simbolik
Menurut Bourdieu (1977: 183), kapital simbolik
merupakan suatu bentuk kapital ekonomi fisikal yang telah mengalami
transformasi dan, karenanya, telah tersamarkan, menghasilkan efeknya yang tepat
sepanjang, menyembunyikan fakta bahwa ia tampil dalam bentuk-bentuk kapital
‘material ‘ yang adalah, pada hakikatnya, sumber efek-efeknya juga. Mahar dkk
(2005:16) memahami prestise, status dan otoritas sebagai kapital simbolik dari
Bourdieu. Sementara pemahaman Jenkins (2004: 125) serta Ritzer dan Goodman
(2004: 526), kapital simbolik terwujud dalam prestise, status otoritas, dan kehormatan
(gengsi) sosial. Adapun, Lee memahami ksapital simbolik dari Bourdieu sebagai
kuantitas metaforis status dan prestise, yang berasal dari ketrampilan mengatur
simbol sosial. Dari berbagai pemahaman para sosiolog ini, maka dapat
disimpulkan bahwa kapital simbolik merupakan kapital yang terwujud dalam
prestise, status, otoritas, dan kehormatan (gengsi) sosial, yang berasal dari
ketrampilan mengatur simbolik.
Kemampuan mengatur simbol seseorang berbeda menurut
prestise, status, otoritas, dan kehormatan (gengsi) sosial. Kemampuan mengatur
simbol ini tidak di peroleh sejak lahir tetapi di dapat melalui pendidikan
formal dan non formal serta reproduksi sosial lainnya seperti pendidikan
informal dalam keluarga. keluarga kelas menengah atas di untungkan dengan reproduksi sosial dalm keluarga
sehingga kemampuan mengatur simbolnya lebih tajam dan kuat dibandingkan dengan
kelas bawah.
Kompetisi dalam meraih prestise, status, otoritas,
da kehormatan (gengsi) sosial, oleh karena itu, menguntungkan kelas menengah atas.
Sebab pendidikan yang yang di masuki oleh anggota kelas bawah ternyata habittus
dari kelas menengah atas. Sehingga kompetensi antara anggota kelas menengah
atas dan bawah berjalan tidak seimbang. Kapital simbolik, oleh sebab itu,
melanggengkan stratifikasi sosial yang ada.
F.
Hubungan
Antara Kapital Manusia, Sosial, Budaya, dan Simbolik.
Pendidikan, berdasarkan diskusi di atas, memeiliki
peranan penting sebagai agen sosialisasi terhadap semua kapital yang ada (
kapital manusia, sosial, budaya dan simbolik). Selain sebagai agen sosialisasi,
pendidikan juga berperan sebagai agen hegemoni dalam kapital budaya dan kapital
simbolik. Dengan demikian, pendidikan menjadi simpul dari pertemuan antara
kesemua kapital yang ada. Secara ringkas akan di gambarkan melalui tabel di
bawah ini.[4]
Jenis
Kapital
|
Atribut
|
Peranan
Pendidikan
|
Manusia
|
Pengetahuan,
ketrampilan, kemampuan, dan stribut serupa lainnya
|
Agen
sosialisasi
|
Sosial
|
Jaringan
alumni, kepercayaan, dan kerjasama
|
Agen
sosialisasi
|
Budaya
|
Kompetensi
atau pengetahuan kultural
|
Agen
sosialisasi dan hegemonik
|
Simbolik
|
Kemampuan
mengatur simbolik
|
Agen
sosialisasi dan hegemonik
|
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Secara
etimologis, kapital berasal dari kata “capital”, yang akar katanya dari kata
latin, caput, berarti “kepala
2. Pendidikan
sebagai suatu sarana pengembangankualitas manusia, memiliki kontribusi langsung
terhadap pertumbuhan pendapatan negara melalui peningkatan ketrampilan dan
kemampuan produksi dari tenaga kerja.
3. kapital
sosial merupakan investasi sosial, yang meliputi sumber daya sosial seperti
jaringan, kepercayaan, nilai, dan norma serta kekuatan menggerakkan, dalam
struktur hubungan sosial untuk mencapai tujuan individual dan kelompok secara
efisien dan efektif dengan kapital lainnya
4. Kapital
budaya merupakan kepemilikkan kompetensi atau pengetahuan kultural yang
menuntun selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi tertentu, yang di
lembagakan dalam bentuk kualifikasi pendidikan. Pendidikan membentuk kompetensi
dan pengetahuan kultural seseorang.
5. Kapital
simbolik merupakan kapital yang terwujud dalam prestise, status, otoritas, dan
kehormatan (gengsi) sosial, yang berasal dari ketrampilan mengatur
simbolik.Kompetisi dalam meraih prestise, status, otoritas, da kehormatan
(gengsi) sosial, oleh karena itu, menguntungkan kelas menengah atas.
6. Pendidikanmemeiliki
peranan penting sebagai agen sosialisasi terhadap semua kapital yang ada (
kapital manusia, sosial, budaya dan simbolik). Selain sebagai agen sosialisasi,
pendidikan juga berperan sebagai agen hegemoni dalam kapital budaya dan kapital
simbolik.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Damsar, (2011), “Pengantar Sosiologi
Pendidikan”, Jakarta: Kencana.