Senin, 06 Juni 2016

MAKALAH PENGANTAR ILMU PENDIDIKAN Faktor Pendidik: Kompetensi Pendidik dan Kualifikasi Pendidik



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Dalam pendidikan, guru memegang peran essensial yang tidak bisa digantikan dengan apapun. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 1 yang menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Dalam proses pendidikan, guru tidak hanya menjalankan fungsi ahli ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tapi juga berfungsi untuk menanamkan nilai (values) serta membangun karakter (character building) peserta didik secara berkelanjutan.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mendukung terlaksananya proses belajar mengajar yang baik dan kondusif adalah dengan cara menyediakan guru yang berkualitas dan profesional. Sebagai tenaga yang profesional, guru diharapkan tidak hanya memiliki kualifikasi akademik, namun harus juga memiliki kompetensi dan sertifikasi yang memenuhi persyaratan. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 7 mengamanatkan, bahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip, antara lain memiliki kualifikasi akademik, latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya dan memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan bidang tugas tersebut.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan pendidik?
2.      Apa yang dimaksud dengan kompetensi pendidik?
3.      Apa yang dimaksud dengan kualifikasi pendidik?
4.      Bagaimana cara meningkatkan kualifikasi dan kompetensi pendidik?

C.     Tujuan
Agar mahasiswa mengetahui apa yang dimaksud dengan pendidik, kualifikasi pendidik dan kompetensi pendidik. Selain itu mahasiswa sebagai calon pendidik, juga dapat mengetahui macam-macam kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dan kualifikasi yang harus dimiliki seorang pendidik. Serta cara untuk meningkatkan kualifikasi dan kompetensi pendidik.




BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Pendidik
Ahmad D. Marimba (1987: 37) mengatakan bahwa pendidik adalah orang yang memikul tanggung jawab untuk mendidik. Sedangkan Amir Damien Indrakusuma (1973: 134) mengatakan bahwa pendidik yaitu pihak yang mendidik, pihak yang memberikan anjuran-anjuran, norma-norma, dan berbagai macam pengetahuan dan kecakapan, pihak yang turut membantu menghumanisasikan anak. Dwi Nugroho Hidayanto (1988: 43) menginventarisir bahwa pengertian pendidik ini meliputi: orang dewasa, orang tua, guru, pemimpin masyarakat, dan pemimpin agama.[1]
Dalam pasal 39 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, menyatakan bahwa Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Karakteristik yang harus dimiliki pendidik dalam melaksanakan tugasnya dalam mendidik menurut Wens Tanlain adalah:
1.    Kematangan diri yang stabil; memahami diri sendiri, mencintai diri secara wajar dan memiliki nilai-nilai kemanusiaan serta bertindak sesuai dengan nilai-nilai itu, sehingga ia bertanggung jawab sendiri atas hidupnya, tidak menggantungkan diri atau menjadi beban orang lain.
2.    Kematangan sosial yang stabil; dalam hal ini seorang pendidik dituntut mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masyarakatnya, dan mempunyai kecakapan membina kerja sama dengan orang lain.
3.    Kematangan profesional (kemampuan mendidik); yakni menaruh perhatian dan sikap cinta terhadap anak didik serta mempunyai pengetahuan yang cukup tentang latar belakang anak didik dan perkembangannya, memiliki kecakapan dalam menggunakan cara-cara mendidik.[2]
B.     Kompetensi Pendidik
Untuk melaksanakan proses pendidikan dan pengajaran, guru harus memiliki seperangkat kompetensi yang harus dikuasai dan dimiliki. Menurut Barlow, kompetensi adalah ‘the ability of a teacher to responsibly perform his or her duties appropriately’ (Muhibin Syah, 1995: 230) atau ‘kemampuan seorang guru untuk menunjukkan secara bertanggung jawab tugas-tugasnya dengan tepat’. Dalam hal standar kompetensi guru, Pearson (1980) telah mengidentifikasi guru yang kompeten dengan tiga masalah pokok, yakni: (1) what standards must a teacher meet to teach satisfactorily rather than minimally, (2) what skills are required in general for a person to perform at this level, (3) does the person in question have these requisite skills.
Untuk menjelaskan pengertian tentang kompetensi itulah maka Gronczi (1997) dan Hager (1995) menjelaskan bahwa “An integrated view sees competence as a complex combination of knowledge, attitudes, skills, and values displayed in the context of task performance”. Dengan kata lain secara singkat dapat diartikan bahwa kompetensi guru merupakan kombinasi kompleks dari pengetahuan, sikap, keterampilan, dan nilai-nilai yang ditunjukkan oleh guru dalam konteks kinerja tugas yang diberikan kepadanya. Sejalan dengan definisi tersebut, Direktorat Tenaga Kependidikan, Dikdasmen menjelaskan bahwa “kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak”. Dijelaskan lebih lanjut bahwa “kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan perbuatan secara profesional dalam menjalankan fungsi sebagai guru.[3]
     Sedangkan menurut Charles E. Johnson (1974) kompetensi adalah ‘Competency as rational performance which satisfactorily meets the objective for a desired condition’. Menurutnya kompetensi merupakan perilaku rasional guna mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Dengan demikian suatu kompetensi ditunjukkan oleh penampilan atau unjuk kerja yang dapat dipertanggungjawabkan (rasional) dalam upaya mencapai suatu tujuan.[4]
Istilah kompetensi memang bukan sesuatu yang baru. Pada tahun 70-an, terkenal wacana akademis tentang apa yang disebut sebagai Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi atau Competency Based Training and Education (CBTE). Pada saat itu Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis (Dikgutentis) Dikdasmen pernah mengeluarkan “buku saku berwarna biru” tentang “Sepuluh Kompetensi Guru”. Sepuluh kompetensi guru tersebut sebagai berikut:
1.     Memiliki kepribadian sebagai guru.
2.     Menguasai landasan pendidikan.
3.     Menguasai bahan pelajaran.
4.     Menyusun program pengajaran.
5.     Melaksanakan proses belajar mengajar.
6.     Melaksanakan penilaian pendidikan.
7.     Melaksanakan bimbingan.
8.     Melaksanakan administrasi sekolah.
9.     Menjalin kerjasama dan interaksi dengan guru sejawat dan masyarakat.
10. Melaksanakan penelitian sederhana.
Kesepuluh kompetensi tersebut diharapkan dapat dimiliki guru secara maksimal agar proses belajar mengajar yang dilaksanakan menjadi lebih efektif dan menghasilkan peserta didik yang kompeten.
Berdasarkan analisis dari beberapa pakar pendidikan, ada tiga faktor utama yang menyebabkan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Pertama, pendidikan terlalu berorientasi pada keluaran (output), dan kurang berorientasi pada proses. Kedua, pendidikan terlalu bersifat birokratis-sentralistis. Ketiga, peran guru, keluarga dan masyarakat masih kurang.
Dalam dua dekade kemudian, kesepuluh kompetensi guru tersebut dievaluasi kembali oleh Direktorat Tenaga Kependidikan (Diktendik), nama baru Dikgutentis, dengan membentuk satu Tim Penyusun Kompetensi Guru yang beranggotakan para pakar pendidikan yang tergabung dalam Konsorsium Pendidikan dengan para praktisi pendidikan. Tim tersebut bertugas menghasilkan rumusan yang baru tentang kompetensi guru yang akan digunakan sebagai standar yang baku untuk menentukan kualitas guru.[5]
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan bab VI pasal 28 ayat 3 dinyatakan bahwa guru minimal memiliki empat kompetensi diantaranya:
1.         Kompetensi Pedagogis
Kompetensi pedagogis adalah seperangkat kemampuan dan keterampilan (skill) yang berkaitan dengan interaksi belajar mengajar antara guru dan siswa dalam kelas. Kompetensi pedagogis merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran untuk kepentingan peserta didik. Paling tidak harus meliputi pemahaman wawasan atau landasan kepemimpinan dan pemahaman terhadap peserta didik. Selain itu, juga meliputi kemampuan dalam mengembangkan kurikulum dan silabus termasuk perancangan dan pelaksanaan pembelajaran yang mendidik serta dialogis. Ada pemanfaatan teknologi pembelajaran, evaluasi akhir belajar, dan pengembangan peserta didik di dalamnya. Ini semua dimaksudkan demi mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki oleh guru, sekali lagi untuk kepentingan pencapaian tujuan pembelajaran.[6]
Secara ringkasnya dapat dijelaskan bahwa kompetensi pedagogis meliputi, kemampuan guru dalam menjelaskan materi, melaksanakan metode pembelajaran, memberikan pertanyaan, menjawab pertanyaan, mengelola kelas, dan melakukan evaluasi.

2.         Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah seperangkat kemampuan dan karakteristik personal yang mencerminkan realitas sikap dan perilaku guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya dalam kehidupan sehari-hari. Mencakup kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan bijaksana. Kompetensi kepribadian ini melahirkan ciri-ciri guru diantaranya: sabar, tenang, tanggung jawab, berakhlak mulia, demokratis, ikhlas, cerdas, menghormati orang lain, berwibawa, ramah, tegas, berani, kreatif, inisiatif, serta menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Secara objektif mampu mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.

3.    Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional adalah seperangkat kemampuan dan keterampilan terhadap penguasaan materi pelajaran secara mendalam, utuh, dan komprehensif. Guru yang memiliki kompetensi profesional tidak cukup hanya memiliki penguasaan materi secara formal (dalam buku panduan) tetapi juga harus memiliki keterkaitan dengan pokok bahasan mata pelajaran tertentu (materi pengayaan). Misalnya guru fiqh yang mengajar pokok bahasan nikah tidak cukup hanya menguasai materi yang berkaitan dengan normativitas nikah, melainkan juga harus menguasai dan memahami materi nikah berkaitan dengan perkembangan penduduk. Konsekuensinya guru tersebut harus menguasai materi yang berkaitan dengan kependudukan. Guru tafsir yang mengajar pokok bahasan kerusakan di muka bumi, tidak cukup hanya menjelaskan terminologi kerusakan secara normatif. Terminologi kerusakan harus dilihat dari aspek sosiologis, psikologis, geografis, dan kultural. Guru akan mampu menjelaskan materi itu jika menguasai materi sosiologi atau antropologi.

4.         Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial adalah seperangkat kemampuan dan keterampilan yang terkait dengan hubungan atau interaksi dengan orang lain. Artinya, guru harus dituntut memiliki ketrampilan berinteraksi dengan masyarakat khususnya dalam mengidentifikasi, menganalisis dan menyelesaikan problem masyarakat. Dalam realitas masyarakat, guru masih menjadi sosok elit masyarakat yang dianggap memiliki otoritas moral cukup besar, salah satu konsekuensi agar peran itu tetap melekat dalam diri guru, maka guru harus memiliki kemampuan hubungan dan komunikasi dengan orang lain.[7]


C.     Standar Kompetensi Guru (SKG)

1.         Pengertian
Standar kompetensi guru adalah suatu ukuran yang ditetapkan bagi seorang guru dalam menguasai seperangkat kemampuan agar berkelayakan menduduki salah satu jabatan fungsional guru, sesuai bidang tugas dan jenjang pendidikannya. Persyaratan yang dimaksud adalah penguasaan proses belajar mengajar dan penguasaan pengetahuan. Jabatan Fungsional Guru adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang guru yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan/atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri.
2.         Tujuan
Standar Kompetensi Guru bertujuan untuk:                                           
a.         Memformulasikan peta kemampuan guru secara nasional yang diperuntukkan bagi perumusan kebijakan program pengembangan dan peningkatan tenaga kependidikan khususnya guru.
b.        Memformulasikan peta kebutuhan pembinaan dan peningkatan mutu guru sebagai dasar bagi pelaksanaan peningkatan kompetensi, peningkatan kualifikasi, dan diklat-diklat tenaga kependidikan yang sesuai dengan kebutuhan.
c.         Menumbuhkan kreatifitas guru yang bermutu, inovatif, terampil, mandiri, dan tanggung jawab, yang dijadikan dasar bagi peningkatan dan pengembangan karir tenaga kependidikan yang profesional.
                                      
3.         Manfaat
Dapat memberikan informasi tentang peta kemampuan; guru yang berkelayakan dan tidak berkelayakan baik secara individual, kelompok, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi, Regional maupun Nasional yang diperuntukkan bagi:

·      Bahan perumusan kebijakan program pembinaan.
·      Peningkatan kompetensi, peningkatan kualifikasi, dan diklat-diklat sesuai dengan hasil uji kompetensi (skill audit).
·      Peningkatan dan pengembangan karir dan profesi guru.[8]
                                     
D.     Uji Kompetensi Guru
Untuk meningkatkan kualitas guru, perlu dilakukan suatu sistem pengujian terhadap kompetensi guru. Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, beberapa daerah telah melakukan uji kompetensi guru, mereka melakukannya terutama untuk mengetahui kemampuan guru di daerahnya, untuk kenaikkan pangkat dan jabatan, serta untuk mengangkat kepala sekolah dan wakil kepala sekolah.
Uji kompetensi guru dapat dilakukan secara nasional, regional maupun lokal. Secara nasional dapat dilakukan oleh pemerintah pusat untuk mengetahui kualitas dan standar kompetensi guru, dalam kaitannya dengan pembangunan pendidikan secara keseluruhan. Secara regional dapat dilakukan oleh pemerintah provinsi untuk mengetahui kualitas dan standar kompetensi guru, dalam kaitannya dengan pembangunan pendidikan di provinsi masing-masing. Sedangkan secara lokal dapat dilakukan oleh daerah (kabupaten dan kota) untuk mengetahui kualitas dan standar kompetensi guru, dalam kaitannya dengan pembangunan pendidikan di daerah dan kota masing-masing.
     Uji kompetensi guru, baik secara teoretis maupun secara praktis memiliki manfaat yang sangat penting, terutama dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan melalui peningkatan kualitas guru. Pentingnya uji kompetensi guru, diantaranya:
1.      Sebagai Alat untuk Mengembangkan Standar Kemampuan Profesional Guru
            Uji kompetensi guru dapat digunakan untuk mengembangkan standar kemampuan profesional guru. Berdasarkan hasil uji dapat diketahui kemampuan rata-rata para guru, aspek nama yang perlu ditingkatkan, dan siapa yang perlu mendapat pembinaan secara kontinue, serta siapa yang telah mencapai standar kemampuan minimal.
2.      Merupakan Alat Seleksi Penerimaan Guru
Melalui uji kompetensi guru diharapkan dapat terjaring guru-guru yang kompeten, kreatif, profesional, dan menyenangkan, sehingga mampu meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolahnya. Dengan uji kompetensi yang digunakan sebagai alat seleksi, penerimaan guru baru dapat dilakukan secara profesional, tidak didasarkan atas suka atau tidak suka, atau alasan subjektif lain, yang bermuara pada korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tetapi berdasarkan standar kompetensi yang objektif, dan berlaku secara umum untuk semua calon guru.
3.      Untuk Mengelompokan Guru
Berdasarkan hasil uji kompetensi, guru-guru dapat dikelompokkan berdasarkan hasilnya, misalnya kelompok tinggi, kelompok sedang dan kelompok kurang. Untuk kelompok kurang merupakan kelompok yang perlu mendapatkan perhatian dan pembinaan agar dapat meningkatkan kompetensinya.
4.      Sebagai Bahan Acuan dalam Pengembangan Kurikulum
Keberhasilan pendidikan tercermin dalam kualitas pembelajaran, dan keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, kurikulum lembaga pendidikan yang mempersiapkan calon guru harus dikembangkan berdasarkan kompetensi guru. Tujuan, program pendidikan, sistem pembelajaran, dan evaluasi perlu direncanakan sedemikian rupa agar sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan kompetensi guru.
5.      Merupakan Alat Pembinaan Guru
Dengan adanya syarat yang menjadi kriteria calon guru, maka akan terdapat pedoman bagi para administrator dalam memilih, menyeleksi dan menempatkan guru sesuai dengan karakteristik dan kondisi, serta jenjang pendidikan. Asumsi yang mendasari kriteria ini adalah bahwa setiap calon guru yang memenuhi syarat diharapkan berhasil dalm mengemban tugas dan fungsinya, dan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran.
                                                      
6.      Mendorong Kegiatan dan Hasil Belajar
Kegiatan pembelajaran, dan hasil balajar peserta didik tidak saja ditentukan oleh manajemen sekolah, kurikulum, sarana dan prasarana pembelajaran, tetapi sebagian besar ditentukan oleh guru. Oleh karena itu, uji kompetensi guru akan mendorong terciptanya kegiatan dan hasil belajar yang optimal, karena guru yang teruji kompetensinya akan senantiasa menyesuaikan kompetensinya dengan perkembangan kebutuhan dan pembelajaran.[9]
E.     Kualifikasi Pendidik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi kualifikasi adalah keahlian yang diperlukan untuk melakukan sesuatu, atau menduduki jabatan tertentu (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2001: 603)
             Jadi, kualifikasi mendorong seseorang untuk memiliki suatu “keahlian atau kecakapan khusus”. Dalam dunia pendidikan, kualifikasi dimengerti sebagai keahlian atau kecakapan khusus dalam bidang pendidikan, baik sebagai pengajar mata pelajaran, administrasi pendidikan dan seterusnya.
             Kualifikasi guru dapat dipandang sebagai pekerjaan yang membutuhkan kemampuan yang mumpuni. Kualifikasi guru berbeda sesuai pada tiap tingkatnya. Baik itu guru PAUD/TK/RA sampai pada tingkat pendidikan menengah.
             Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab XI Pasal 42 dinyatakan bahwa:
1.      Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kesenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan pendidikan nasional.
2.      Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
3.      Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.[10]
Dalam Peraturan Pemerintah Repubik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab VI Pasal 29 kualifikasi yang harus dimiliki oleh seorang pendidik yaitu:
1.      Pendidik pada pendidikan anak usia dini memiliki:
a.       Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S-I);
b.      Latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan anak usia dini, kependidikan lain, atau psikologi; dan
c.       Sertifikat profesi guru untuk PAUD.
2.      Pendidik pada SD/MI, atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a.       Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S-I);
b.      Latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan SD/MI, kependidikan lain, atau psikologi; dan
c.       Sertifikat profesi guru untuk SD/MI.
3.      Pendidik pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a.       Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S-I);
b.      Latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan
c.       Sertifikat profesi guru untuk SMP/MTs.
4.      Pendidik pada SMA/MA atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a.       Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S-I);
b.      Latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan
c.       Sertifikat profesi guru untuk SMA/MA.
5.      Pendidik pada SDLB/SMPLB/SMALB, atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a.       Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S-I) latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan khusus atau sarjana yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan
b.      Sertifikat profesi guru untuk SDLB/SMPLB/SMALB
6.      Pendidik pada SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a.       Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S-I);
b.      Latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan
c.       Sertifikat profesi guru untuk SMK/MAK.

F.      Peningkatan kualifikasi guru
Dasar hukum peningkatan kualifikasi guru ialah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Guru dan Dosen. UU Sisdiknas Pasal 42 ayat (1) menyebutkan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Undang-Undang Guru dan Dosen dalam Pasal 8 menyebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sementara itu, undang-undang yang sama, pasal 9 menyebutkan kualifikasi akademik yang dimaksud dalam pasal 8 diperolah melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.
Dalam hal jabatan, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh guru. Untuk memenuhi program sarjana atau diploma empat guru tersebut harus:
1.    Tidak meninggalkan tugas kesehariannya
2.    Berorientasi kepada mutu
3.    Menghargai pelatihan, prestasi akademik, dan pengalaman mengajar serta prestasi tertentu.
Peningkatan kualifikasi dilakukan melalui jalur formal, yaitu melalui pendidikan konfensional, pendidikan melalui universitas terbuka, pendidikan jarak jauh pendekatan ICT, dan pendidikan jarak jauh pola PKG.[11]
G.    Model peningkatan kualifikasi guru
            Banyak model peningkatan kualifikasi akademik bagi guru yang ingin meningkatkan kualifikasinya. Seorang guru dalam menentukan model yang dipilih, harus mempertimbangkan beberapa hal yang berkenaan dengan kemampuan akademik, kesiapan mental dan tanggung jawab sebagai PNS dengan tugas sebagai guru di sekolah.
            Berikut adalah model-model peningkatan kualifikasi akademik yang dapat dipilih untuk menungkatkan kualifikasi guru:
1.         Model Tugas Belajar
Model peningkatan kualifikasi akademik melalui tugas belajar merupakan salah satu bentuk model yang dapat dipilih oleh seorang guru yang belum memenuhi kualifikasi. Guru yang mengikuti model ini dibebaskan dari tugas mengajar dan ditugaskan mengikuti perkuliahan di salah satu Perguruan Tinggi.
Keuntungan dari model tugas belajar adalah penyelesaian studi lebih cepat karena peserta dapat berkonsentrasi secara penuh pada tugas belajar tanpa beban tugas mengajar. Namun demikian ada kelemahannya yaitu terjadinya kekosongan guru di sekolah selama guru yang bersangkutan melaksanakan tugas belajar. Model ini lebih cocok bagi sekolah yang jumlah gurunya lebih banyak dan tidak cocok bagi sekolah yang kekurangan guru.
2.         Model Ijin Belajar
Ijin belajar merupakan program peningkatan kualifikasi guru, dimana guru tetap melaksanakan tugas mengajar di sekolah, tetapi dalam waktu yang sama mereka juga mengikuti kuliah di perguruan tinggi. Perkuliahan dilaksanakan di sela-sela mengajar atau pada hari tidak mengajar.
Sebagai contoh misalnya hanya pada hari Kamis hingga Sabtu, guru yang akan meningkatkan kualifikasinya harus dibebaskan dari tugas mengajar untuk mengikuti perkuliahan. Model ini dapat dilaksanakan bagi sekolah yang gurunya terbatas namun di daerah memiliki perguruan tinggi yang sesuai dengan bidang keahlian masing-masing.
3.         Model Akreditasi
Model akreditasi adalah program peningkatan kualifikasi guru, di mana guru tersebut tidak meninggalkan tugas sehari-hari dan tidak merugikan anak didik. Pelaksanaan model akreditasi ini dapat dilaksanakan dengan melakukan kerjasama antara unit pembina guru dengan LPTK atau perguruan tinggi yang mempunyai program kependidikan. Unit pembina guru misalnya Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan, dan Dinas Pendidikan Kabupaten dan Propinsi.
Prinsip yang dianut dalam model ini adalah mengakreditasi proses pendidikan dan pelatihan dengan sistem kredit semester (SKS) sesuai mata kuliah di LPTK/PT. Keuntungan dalam mengikuti model akreditasi ini, peserta (guru) tidak meninggalkan tugas mengajarnya, guru memiliki SKS bawaan yang dapat digunakan untuk program peningkatan kualifikasi di LPTK/PT, dan efektif dalam hal pelaksanaan program yaitu peningkatan kompetensi sekaligus peningkatan kualifikasi.
Guru yang mengikuti model akreditasi ini, dapat meningkatkan kualifikasi ke LPTK/PT dengan membawa SKS dari program Diklat yang diselenggarakan oleh P4TK/LPMP.
4.         Model Belajar Jarak Jauh (BJJ)
Program Belajar Jarak Jauh (Program BJJ), diperuntukkan bagi guru yang tinggal jauh dari LPTK penyelenggara. Dengan mengikuti program BJJ, guru tidak perlu meninggalkan tugas mengajar sehari-hari. Tutorial diadakan satu minggu sekali, di tempat yang mudah dijangkau oleh para guru. Tutorial berfungsi sebagai pemantapan substansi kajian yang telah dibaca oleh para guru, berbagi masalah pembelajaran dan mengkaji cara pemecahannya, kemudian diterapkan di sekolah masing-masing.
Program ini sangat efektif bagi guru yang tinggal di daerah-daerah yang sangat terpencil sehingga tidak mungkin mengikuti tutorial setiap minggu
5.         Model Berkala
Proses pelaksanaan kualifikasi guru model berkala dilakukan pada saat libur sekolah. Dengan demikian guru tidak meninggalkan tugas, sehingga peserta didik tidak tertinggal pelajaran. Ada dua cara yang dapat ditempuh yakni:
a.        Model Berkala Terpadu. yakni proses perkuliahan dilakukan pada saat liburan antar semester genap dan semester ganjil di sekolah. Di samping perkuliahan dengan tatap muka peserta juga diberi tugas-tugas yang diselesaikan diluar tatap muka. Namun demikian model ini memerlukan waktu agak panjang.
b.        Model Berkala Model Blok Waktu (Block Time). Pada model ini, perkuliahan dilakukan pada saat liburan sekolah saja dalam satu satuan blok waktu.

6.         Model Berdasarkan Peta Kewilayahan
Model ini dilakukan sebagai alternatif pengembangan kebutuhan layanan kualifikasi berdasarkan kekuatan yang dimiliki oleh kelembagaan LPTK dan P4TK di wilayah. Model ini dipilih dengan maksud agar kedua lembaga bisa saling mengoptimalkan kelebihan yang dimiliki oleh kedua lembaga, sehingga dapat bekerja sinergis untuk mempercepat pencapaian target. Alternatif model ini dalam pelaksanaannya dapat dilakukan dengan (a) tatap muka sesuai dengan masa belajarnya dan (b) sandwich program yaitu sebagian waktu dari masa belajar berada di LPTK dan P4TK sebagian waktu berada di sekolah untuk memantapkan perolehan ilmunya di sekolah.
7.         Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) Berbasis ICT
Program Peningkatan Kualifikasi Akademik Guru ke S-1 melalui program PJJ berbasis ICT merupakan program peningkatan kualifikasi khusus bagi guru SD (lulusan D-2) yang belum berkualifikasi S-1 untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang S-1.
Lama pendidikan 3 (tiga) tahun termasuk pendidikan profesi. Lembaga penyelenggara adalah LPTK. Pelaksanaan program ini ditetapkan oleh Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi dengan pertimbangan kesediaan dan kesiapan, ketersediaan dukungan teknis penyelenggaraan, dan distribusi geografis bagi penyelenggaraan Program Peningkatan Kualifikasi Akademik Guru ke S-1 melalui PJJ berbasis ICT, disamping juga pertimbangan politis untuk melibatkan LPTK swasta dalam upaya peningkatan kualifikasi guru SD melalui program PJJ S-1 PGSD berbasis ICT. Dengan demikian diharapkan LPTK yang ditunjuk dapat melaksanakan Program Peningkatan Kualifikasi Akademik Guru ke S-1 program PJJ berbasis ICT secara efektif sehingga menghasilkan lulusan-lulusan yang bermutu dan dapat melaksanakan tugas secara efektif, kreatif dan produktif di sekolah.
8.         Peningkatan Kualifikasi Akademik (PKA) Guru Berbasis KKG
Program ini merupakan peningkatan kualifikasi akademik S-1 PGSD bagi guru SD dengan menggunakan sistem pendidikan jarak jauh yang diselenggarakan di kelompok kerja guru oleh perguruan tinggi yang ditunjuk. Proses pembelajaran Peningkatan Kualifikasi Akademik (PKA) S1-PGSD berbasis KKG dilakukan dengan memberdayakan KKG yang sudah ada pada setiap kecamatan. Penyelenggaraan PKA berbasis KKG berpeluang untuk menggunakan berbagai media informasi dan komunikasi, bantuan belajar, dan dinamika kelompok belajar, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan akuntabilitas proses pembelajaran dalam program peningkatan kualifikasi akademik guru ke jenjang S-1.[12]




BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
kompetensi guru merupakan kombinasi kompleks dari pengetahuan, sikap, keterampilan, dan nilai-nilai yang ditunjukkan oleh guru dalam konteks kinerja tugas yang diberikan kepadanya. Guru minimal memiliki empat kompetensi diantaranya: 1. Kompetensi pedagogis, 2. Kompetensi kepribadian, 3. Kompetensi profesional, 4. Kompetensi sosial. Standar kompetensi guru adalah suatu ukuran yang ditetapkan bagi seorang guru dalam menguasai seperangkat kemampuan agar berkelayakan menduduki salah satu jabatan fungsional guru, sesuai bidang tugas dan jenjang pendidikannya.
            kualifikasi adalah keahlian yang diperlukan untuk melakukan sesuatu, atau menduduki jabatan tertentu. Banyak model peningkatan kualifikasi akademik bagi guru diantaranya: 1. Model Tugas Belajar, 2. Model Ijin Belajar, 3. Model Akreditasi, 4. Model Belajar Jarak Jauh (BJJ), 5. Model Berkala, 6. Model Berdasarkan Peta Kewilayahan, 7. Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) Berbasis ICT, 8. Peningkatan Kualifikasi Akademik (PKA) Guru Berbasis KKG.





DAFTAR ISI

Maunah, Binti. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Teras. 2009.
Daryanto. Standar Kompetensi dan Penilaian Kinerja Guru Profesional. Yogyakarta: Gava Media. 2013.
Sanjaya, Wina. Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006.
Suparlan. Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta: Hikayat publishing. 2008.      
Sembiring, M. Gorky. Mengungkap Rahasia dan Tips Manjur Menjadi Guru Sejati. Yogyakarta: Best Publisher. 2009.
Muchith, M. Saekhan. Pembelajaran Kontekstual. Semarang: RaSAIL Media Group. 2008.
Mulyasa, E. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2006..
Barnawi & mohammad Arifin.  Etika Dan Profesi Kependidikan. Yogyakarta: Ar-rus media. 2012.
 Rachmawati, Tutik Rachmawati, Daryanto, Penilaian Kinerja Profesi Guru dan Angka Kreditnya. Yogyakarta: Gava Media. 2013.
Buku Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional


[1] Dr. Hj. Binti Maunah, M.Pd., Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 77.                                      
[2] Dr. Hj. Binti maunah, M.Pd., Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 79.
[3] Drs. Daryanto, Standar Kompetensi dan Penilaian Kinerja Guru Profesional, (Yogyakarta: Gava Media, 2013), hlm. 157.
[4] Dr. Wina Sanjaya, M.Pd., Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006)
[5] Drs. Suparlan, M.Ed., Menjadi Guru Efektif, (Yogyakarta: Hikayat publishing, 2008), hlm. 89-92.      
[6] M. Gorky Sembiring, Mengungkap Rahasia dan Tips Manjur Menjadi Guru Sejati, (Yogyakarta: Best Publisher, 2009), hlm. 39.
[7] M. Saekhan Muchith, M.Pd., Pembelajaran Kontekstual, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm. 148-149.
[8] Drs. Daryanto, Standar Kompetensi dan Penilaian Kinerja Guru Profesional, (Yogyakarta: Gava Media, 2013), hlm. 1146-147.
[9] Dr. E. Mulyasa, M.Pd., Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 187-180.
[10] Drs. Suparlan, M.Ed., Menjadi Guru Efektif, (Yogyakarta: hikayat, 2008), hlm. 147.
[11] Barnawi & mohammad Arifin, Etika dan Profesi Kependidikan, (Yogyakarta: Ar-rus media, 2012), hlm. 17-18.
[12] Dra. Tutik Rachmawati, M.Pd.,Drs. Daryanto, Penilaian Kinerja Profesi Guru dan Angka Kreditnya, (Yogyakarta: Gava Media, 2013), hlm. 51-58.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar