BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
pendidikan, guru memegang peran essensial
yang tidak bisa digantikan dengan apapun. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang
No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 1 yang menyatakan bahwa guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Dalam
proses pendidikan, guru tidak hanya menjalankan fungsi ahli ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tapi juga
berfungsi untuk menanamkan nilai (values)
serta membangun karakter (character
building) peserta didik secara berkelanjutan.
Upaya yang
dapat dilakukan untuk mendukung terlaksananya proses belajar mengajar yang baik
dan kondusif adalah dengan cara menyediakan guru yang berkualitas dan
profesional. Sebagai tenaga yang profesional, guru diharapkan tidak hanya
memiliki kualifikasi akademik, namun harus juga memiliki kompetensi dan
sertifikasi yang memenuhi persyaratan. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen Pasal 7 mengamanatkan, bahwa profesi guru merupakan
bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip, antara lain
memiliki kualifikasi akademik, latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang
tugasnya dan memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan bidang
tugas tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan pendidik?
2. Apa
yang dimaksud dengan kompetensi pendidik?
3. Apa
yang dimaksud dengan kualifikasi pendidik?
4. Bagaimana
cara meningkatkan kualifikasi dan kompetensi pendidik?
C. Tujuan
Agar
mahasiswa mengetahui apa yang dimaksud dengan pendidik, kualifikasi pendidik
dan kompetensi pendidik. Selain itu mahasiswa sebagai calon pendidik, juga
dapat mengetahui macam-macam kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang
pendidik dan kualifikasi yang harus dimiliki seorang pendidik. Serta cara untuk
meningkatkan kualifikasi dan kompetensi pendidik.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidik
Ahmad
D. Marimba (1987: 37) mengatakan bahwa pendidik adalah orang yang memikul
tanggung jawab untuk mendidik. Sedangkan Amir Damien Indrakusuma (1973: 134)
mengatakan bahwa pendidik yaitu pihak yang mendidik, pihak yang memberikan anjuran-anjuran,
norma-norma, dan berbagai macam pengetahuan dan kecakapan, pihak yang turut
membantu menghumanisasikan anak. Dwi Nugroho Hidayanto (1988: 43)
menginventarisir bahwa pengertian pendidik ini meliputi: orang dewasa, orang
tua, guru, pemimpin masyarakat, dan pemimpin agama.[1]
Dalam pasal 39
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, menyatakan bahwa Pendidik merupakan
tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan,
serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi
pendidik pada perguruan tinggi.
Karakteristik
yang harus dimiliki pendidik dalam melaksanakan tugasnya dalam mendidik menurut
Wens Tanlain adalah:
1.
Kematangan diri yang stabil; memahami diri sendiri,
mencintai diri secara wajar dan memiliki nilai-nilai kemanusiaan serta
bertindak sesuai dengan nilai-nilai itu, sehingga ia bertanggung jawab sendiri
atas hidupnya, tidak menggantungkan diri atau menjadi beban orang lain.
2.
Kematangan sosial yang stabil; dalam hal ini seorang
pendidik dituntut mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masyarakatnya, dan
mempunyai kecakapan membina kerja sama dengan orang lain.
3.
Kematangan profesional (kemampuan mendidik); yakni
menaruh perhatian dan sikap cinta terhadap anak didik serta mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang latar belakang anak didik dan perkembangannya,
memiliki kecakapan dalam menggunakan cara-cara mendidik.[2]
B.
Kompetensi
Pendidik
Untuk
melaksanakan proses pendidikan dan pengajaran, guru harus memiliki seperangkat
kompetensi yang harus dikuasai dan dimiliki. Menurut Barlow, kompetensi adalah
‘the ability of a teacher to responsibly
perform his or her duties appropriately’ (Muhibin Syah, 1995: 230) atau
‘kemampuan seorang guru untuk menunjukkan secara bertanggung jawab
tugas-tugasnya dengan tepat’. Dalam hal standar kompetensi guru, Pearson (1980)
telah mengidentifikasi guru yang kompeten dengan tiga masalah pokok, yakni: (1)
what standards must a teacher meet to
teach satisfactorily rather than minimally, (2) what skills are required in general for a person to perform at this
level, (3) does the person in
question have these requisite skills.
Untuk
menjelaskan pengertian tentang kompetensi itulah maka Gronczi (1997) dan Hager
(1995) menjelaskan bahwa “An integrated
view sees competence as a complex combination of knowledge, attitudes, skills,
and values displayed in the context of task performance”. Dengan kata lain
secara singkat dapat diartikan bahwa kompetensi guru merupakan kombinasi
kompleks dari pengetahuan, sikap, keterampilan, dan nilai-nilai yang
ditunjukkan oleh guru dalam konteks kinerja tugas yang diberikan kepadanya.
Sejalan dengan definisi tersebut, Direktorat Tenaga Kependidikan, Dikdasmen
menjelaskan bahwa “kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan
nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak”.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa “kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk
penguasaan pengetahuan dan perbuatan secara profesional dalam menjalankan
fungsi sebagai guru.[3]
Sedangkan menurut Charles E. Johnson (1974)
kompetensi adalah ‘Competency as rational
performance which satisfactorily meets the objective for a desired condition’.
Menurutnya kompetensi merupakan perilaku rasional guna mencapai tujuan yang
dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Dengan demikian suatu
kompetensi ditunjukkan oleh penampilan atau unjuk kerja yang dapat
dipertanggungjawabkan (rasional) dalam upaya mencapai suatu tujuan.[4]
Istilah
kompetensi memang bukan sesuatu yang baru. Pada tahun 70-an, terkenal wacana
akademis tentang apa yang disebut sebagai Pendidikan dan Pelatihan Berbasis
Kompetensi atau Competency Based Training
and Education (CBTE). Pada saat itu Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga
Teknis (Dikgutentis) Dikdasmen pernah mengeluarkan “buku saku berwarna biru”
tentang “Sepuluh Kompetensi Guru”. Sepuluh kompetensi guru tersebut sebagai
berikut:
1. Memiliki
kepribadian sebagai guru.
2. Menguasai
landasan pendidikan.
3. Menguasai
bahan pelajaran.
4. Menyusun
program pengajaran.
5. Melaksanakan
proses belajar mengajar.
6. Melaksanakan
penilaian pendidikan.
7. Melaksanakan
bimbingan.
8. Melaksanakan
administrasi sekolah.
9. Menjalin
kerjasama dan interaksi dengan guru sejawat dan masyarakat.
10. Melaksanakan
penelitian sederhana.
Kesepuluh
kompetensi tersebut diharapkan dapat dimiliki guru secara maksimal agar proses
belajar mengajar yang dilaksanakan menjadi lebih efektif dan menghasilkan
peserta didik yang kompeten.
Berdasarkan
analisis dari beberapa pakar pendidikan, ada tiga faktor utama yang menyebabkan
mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Pertama,
pendidikan terlalu berorientasi pada keluaran (output), dan kurang berorientasi pada proses. Kedua, pendidikan terlalu bersifat birokratis-sentralistis. Ketiga, peran guru, keluarga dan
masyarakat masih kurang.
Dalam
dua dekade kemudian, kesepuluh kompetensi guru tersebut dievaluasi kembali oleh
Direktorat Tenaga Kependidikan (Diktendik), nama baru Dikgutentis, dengan
membentuk satu Tim Penyusun Kompetensi Guru yang beranggotakan para pakar
pendidikan yang tergabung dalam Konsorsium Pendidikan dengan para praktisi
pendidikan. Tim tersebut bertugas menghasilkan rumusan yang baru tentang
kompetensi guru yang akan digunakan sebagai standar yang baku untuk menentukan
kualitas guru.[5]
Dalam
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan bab VI pasal 28 ayat 3 dinyatakan bahwa guru minimal memiliki empat
kompetensi diantaranya:
1.
Kompetensi
Pedagogis
Kompetensi pedagogis adalah seperangkat
kemampuan dan keterampilan (skill) yang berkaitan dengan interaksi belajar
mengajar antara guru dan siswa dalam kelas. Kompetensi pedagogis merupakan kemampuan
guru dalam pengelolaan pembelajaran untuk kepentingan peserta didik. Paling
tidak harus meliputi pemahaman wawasan atau landasan kepemimpinan dan pemahaman
terhadap peserta didik. Selain itu, juga meliputi kemampuan dalam mengembangkan
kurikulum dan silabus termasuk perancangan dan pelaksanaan pembelajaran yang
mendidik serta dialogis. Ada pemanfaatan teknologi pembelajaran, evaluasi akhir
belajar, dan pengembangan peserta didik di dalamnya. Ini semua dimaksudkan demi
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki oleh guru, sekali lagi untuk
kepentingan pencapaian tujuan pembelajaran.[6]
Secara ringkasnya dapat dijelaskan bahwa
kompetensi pedagogis meliputi, kemampuan guru dalam menjelaskan materi,
melaksanakan metode pembelajaran, memberikan pertanyaan, menjawab pertanyaan,
mengelola kelas, dan melakukan evaluasi.
2.
Kompetensi
Kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah seperangkat
kemampuan dan karakteristik personal yang mencerminkan realitas sikap dan
perilaku guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya dalam kehidupan sehari-hari.
Mencakup kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan bijaksana.
Kompetensi kepribadian ini melahirkan ciri-ciri guru diantaranya: sabar,
tenang, tanggung jawab, berakhlak mulia, demokratis, ikhlas, cerdas,
menghormati orang lain, berwibawa, ramah, tegas, berani, kreatif, inisiatif, serta
menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Secara objektif mampu
mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan diri secara mandiri dan
berkelanjutan.
3.
Kompetensi
Profesional
Kompetensi profesional adalah
seperangkat kemampuan dan keterampilan terhadap penguasaan materi pelajaran
secara mendalam, utuh, dan komprehensif. Guru yang memiliki kompetensi
profesional tidak cukup hanya memiliki penguasaan materi secara formal (dalam
buku panduan) tetapi juga harus memiliki keterkaitan dengan pokok bahasan mata
pelajaran tertentu (materi pengayaan). Misalnya guru fiqh yang mengajar pokok
bahasan nikah tidak cukup hanya menguasai materi yang berkaitan dengan
normativitas nikah, melainkan juga harus menguasai dan memahami materi nikah
berkaitan dengan perkembangan penduduk. Konsekuensinya guru tersebut harus
menguasai materi yang berkaitan dengan kependudukan. Guru tafsir yang mengajar
pokok bahasan kerusakan di muka bumi, tidak cukup hanya menjelaskan terminologi
kerusakan secara normatif. Terminologi kerusakan harus dilihat dari aspek
sosiologis, psikologis, geografis, dan kultural. Guru akan mampu menjelaskan
materi itu jika menguasai materi sosiologi atau antropologi.
4.
Kompetensi
Sosial
Kompetensi sosial adalah seperangkat
kemampuan dan keterampilan yang terkait dengan hubungan atau interaksi dengan
orang lain. Artinya, guru harus dituntut memiliki ketrampilan berinteraksi
dengan masyarakat khususnya dalam mengidentifikasi, menganalisis dan
menyelesaikan problem masyarakat. Dalam realitas masyarakat, guru masih menjadi
sosok elit masyarakat yang dianggap memiliki otoritas moral cukup besar, salah
satu konsekuensi agar peran itu tetap melekat dalam diri guru, maka guru harus
memiliki kemampuan hubungan dan komunikasi dengan orang lain.[7]
C.
Standar
Kompetensi Guru (SKG)
1.
Pengertian
Standar
kompetensi guru adalah suatu ukuran yang ditetapkan bagi seorang guru dalam
menguasai seperangkat kemampuan agar berkelayakan menduduki salah satu jabatan fungsional
guru, sesuai bidang tugas dan jenjang pendidikannya. Persyaratan yang dimaksud
adalah penguasaan proses belajar mengajar dan penguasaan pengetahuan. Jabatan
Fungsional Guru adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab,
wewenang, dan hak seorang guru yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada
keahlian dan/atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri.
2.
Tujuan
Standar
Kompetensi Guru bertujuan untuk:
a.
Memformulasikan peta kemampuan guru
secara nasional yang diperuntukkan bagi perumusan kebijakan program
pengembangan dan peningkatan tenaga kependidikan khususnya guru.
b.
Memformulasikan peta kebutuhan pembinaan
dan peningkatan mutu guru sebagai dasar bagi pelaksanaan peningkatan
kompetensi, peningkatan kualifikasi, dan diklat-diklat tenaga kependidikan yang
sesuai dengan kebutuhan.
c.
Menumbuhkan kreatifitas guru yang
bermutu, inovatif, terampil, mandiri, dan tanggung jawab, yang dijadikan dasar
bagi peningkatan dan pengembangan karir tenaga kependidikan yang profesional.
3.
Manfaat
Dapat
memberikan informasi tentang peta kemampuan; guru yang berkelayakan dan tidak
berkelayakan baik secara individual, kelompok, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi,
Regional maupun Nasional yang diperuntukkan bagi:
· Bahan
perumusan kebijakan program pembinaan.
· Peningkatan
kompetensi, peningkatan kualifikasi, dan diklat-diklat sesuai dengan hasil uji
kompetensi (skill audit).
· Peningkatan
dan pengembangan karir dan profesi guru.[8]
D.
Uji
Kompetensi Guru
Untuk
meningkatkan kualitas guru, perlu dilakukan suatu sistem pengujian terhadap
kompetensi guru. Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, beberapa daerah telah
melakukan uji kompetensi guru, mereka melakukannya terutama untuk mengetahui
kemampuan guru di daerahnya, untuk kenaikkan pangkat dan jabatan, serta untuk
mengangkat kepala sekolah dan wakil kepala sekolah.
Uji kompetensi guru dapat dilakukan secara nasional,
regional maupun lokal. Secara nasional dapat dilakukan oleh pemerintah pusat
untuk mengetahui kualitas dan standar kompetensi guru, dalam kaitannya dengan
pembangunan pendidikan secara keseluruhan. Secara regional dapat dilakukan oleh
pemerintah provinsi untuk mengetahui kualitas dan standar kompetensi guru,
dalam kaitannya dengan pembangunan pendidikan di provinsi masing-masing.
Sedangkan secara lokal dapat dilakukan oleh daerah (kabupaten dan kota) untuk
mengetahui kualitas dan standar kompetensi guru, dalam kaitannya dengan
pembangunan pendidikan di daerah dan kota masing-masing.
Uji
kompetensi guru, baik secara teoretis maupun secara praktis memiliki manfaat
yang sangat penting, terutama dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan melalui
peningkatan kualitas guru. Pentingnya uji kompetensi guru, diantaranya:
1.
Sebagai
Alat untuk Mengembangkan Standar Kemampuan Profesional Guru
Uji
kompetensi guru dapat digunakan untuk mengembangkan standar kemampuan
profesional guru. Berdasarkan hasil uji dapat diketahui kemampuan rata-rata
para guru, aspek nama yang perlu ditingkatkan, dan siapa yang perlu mendapat
pembinaan secara kontinue, serta siapa yang telah mencapai standar kemampuan
minimal.
2.
Merupakan
Alat Seleksi Penerimaan Guru
Melalui uji kompetensi guru diharapkan
dapat terjaring guru-guru yang kompeten, kreatif, profesional, dan
menyenangkan, sehingga mampu meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolahnya.
Dengan uji kompetensi yang digunakan sebagai alat seleksi, penerimaan guru baru
dapat dilakukan secara profesional, tidak didasarkan atas suka atau tidak suka,
atau alasan subjektif lain, yang bermuara pada korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN), tetapi berdasarkan standar kompetensi yang objektif, dan berlaku secara
umum untuk semua calon guru.
3.
Untuk
Mengelompokan Guru
Berdasarkan hasil uji kompetensi, guru-guru dapat
dikelompokkan berdasarkan hasilnya, misalnya kelompok tinggi, kelompok sedang
dan kelompok kurang. Untuk kelompok kurang merupakan kelompok yang perlu
mendapatkan perhatian dan pembinaan agar dapat meningkatkan kompetensinya.
4.
Sebagai
Bahan Acuan dalam Pengembangan Kurikulum
Keberhasilan pendidikan tercermin dalam kualitas
pembelajaran, dan keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran. Oleh
karena itu, kurikulum lembaga pendidikan yang mempersiapkan calon guru harus
dikembangkan berdasarkan kompetensi guru. Tujuan, program pendidikan, sistem
pembelajaran, dan evaluasi perlu direncanakan sedemikian rupa agar sesuai
dengan tuntutan dan kebutuhan kompetensi guru.
5.
Merupakan
Alat Pembinaan Guru
Dengan adanya syarat yang menjadi
kriteria calon guru, maka akan terdapat pedoman bagi para administrator dalam
memilih, menyeleksi dan menempatkan guru sesuai dengan karakteristik dan
kondisi, serta jenjang pendidikan. Asumsi yang mendasari kriteria ini adalah
bahwa setiap calon guru yang memenuhi syarat diharapkan berhasil dalm mengemban
tugas dan fungsinya, dan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran.
6.
Mendorong
Kegiatan dan Hasil Belajar
Kegiatan pembelajaran, dan hasil balajar peserta
didik tidak saja ditentukan oleh manajemen sekolah, kurikulum, sarana dan
prasarana pembelajaran, tetapi sebagian besar ditentukan oleh guru. Oleh karena
itu, uji kompetensi guru akan mendorong terciptanya kegiatan dan hasil belajar
yang optimal, karena guru yang teruji kompetensinya akan senantiasa
menyesuaikan kompetensinya dengan perkembangan kebutuhan dan pembelajaran.[9]
E.
Kualifikasi
Pendidik
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, definisi kualifikasi adalah keahlian yang diperlukan untuk
melakukan sesuatu, atau menduduki jabatan tertentu (Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2001: 603)
Jadi, kualifikasi mendorong
seseorang untuk memiliki suatu “keahlian atau kecakapan khusus”. Dalam dunia
pendidikan, kualifikasi dimengerti sebagai keahlian atau kecakapan khusus dalam
bidang pendidikan, baik sebagai pengajar mata pelajaran, administrasi
pendidikan dan seterusnya.
Kualifikasi guru dapat dipandang
sebagai pekerjaan yang membutuhkan kemampuan yang mumpuni. Kualifikasi guru
berbeda sesuai pada tiap tingkatnya. Baik itu guru PAUD/TK/RA sampai pada
tingkat pendidikan menengah.
Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab XI Pasal 42 dinyatakan bahwa:
1.
Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan
sertifikasi sesuai dengan jenjang kesenangan mengajar, sehat jasmani dan
rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan pendidikan nasional.
2.
Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang
pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
3.
Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.[10]
Dalam Peraturan Pemerintah Repubik Indonesia Nomor
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab VI Pasal 29 kualifikasi
yang harus dimiliki oleh seorang pendidik yaitu:
1. Pendidik
pada pendidikan anak usia dini memiliki:
a. Kualifikasi
akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S-I);
b. Latar
belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan anak usia dini, kependidikan
lain, atau psikologi; dan
c. Sertifikat
profesi guru untuk PAUD.
2. Pendidik
pada SD/MI, atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a. Kualifikasi
akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S-I);
b. Latar
belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan SD/MI, kependidikan lain, atau
psikologi; dan
c. Sertifikat
profesi guru untuk SD/MI.
3. Pendidik
pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a. Kualifikasi
akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S-I);
b. Latar
belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata
pelajaran yang diajarkan; dan
c. Sertifikat
profesi guru untuk SMP/MTs.
4. Pendidik
pada SMA/MA atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a. Kualifikasi
akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S-I);
b. Latar
belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata
pelajaran yang diajarkan; dan
c. Sertifikat
profesi guru untuk SMA/MA.
5. Pendidik
pada SDLB/SMPLB/SMALB, atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a. Kualifikasi
akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S-I) latar
belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan khusus atau sarjana yang
sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan
b. Sertifikat
profesi guru untuk SDLB/SMPLB/SMALB
6. Pendidik
pada SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a. Kualifikasi
akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S-I);
b. Latar
belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata
pelajaran yang diajarkan; dan
c. Sertifikat
profesi guru untuk SMK/MAK.
F.
Peningkatan
kualifikasi guru
Dasar hukum peningkatan kualifikasi guru
ialah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Guru dan
Dosen. UU Sisdiknas Pasal 42 ayat (1) menyebutkan bahwa pendidik harus memiliki
kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar,
sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional. Undang-Undang Guru dan Dosen dalam Pasal 8 menyebutkan
bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi
pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. Sementara itu, undang-undang yang sama, pasal 9
menyebutkan kualifikasi akademik yang dimaksud dalam pasal 8 diperolah melalui
pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.
Dalam
hal jabatan, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh guru. Untuk
memenuhi program sarjana atau diploma empat guru tersebut harus:
1. Tidak
meninggalkan tugas kesehariannya
2. Berorientasi
kepada mutu
3. Menghargai
pelatihan, prestasi akademik, dan pengalaman mengajar serta prestasi tertentu.
Peningkatan kualifikasi dilakukan melalui jalur
formal, yaitu melalui pendidikan konfensional, pendidikan melalui universitas
terbuka, pendidikan jarak jauh pendekatan ICT, dan pendidikan jarak jauh pola
PKG.[11]
G.
Model
peningkatan kualifikasi guru
Banyak model peningkatan kualifikasi
akademik bagi guru yang ingin meningkatkan kualifikasinya. Seorang guru dalam
menentukan model yang dipilih, harus mempertimbangkan beberapa hal yang
berkenaan dengan kemampuan akademik, kesiapan mental dan tanggung jawab sebagai
PNS dengan tugas sebagai guru di sekolah.
Berikut adalah model-model
peningkatan kualifikasi akademik yang dapat dipilih untuk menungkatkan
kualifikasi guru:
1.
Model
Tugas Belajar
Model peningkatan kualifikasi akademik melalui tugas
belajar merupakan salah satu bentuk model yang dapat dipilih oleh seorang guru
yang belum memenuhi kualifikasi. Guru yang mengikuti model ini dibebaskan dari
tugas mengajar dan ditugaskan mengikuti perkuliahan di salah satu Perguruan
Tinggi.
Keuntungan dari model tugas belajar adalah
penyelesaian studi lebih cepat karena peserta dapat berkonsentrasi secara penuh
pada tugas belajar tanpa beban tugas mengajar. Namun demikian ada kelemahannya
yaitu terjadinya kekosongan guru di sekolah selama guru yang bersangkutan
melaksanakan tugas belajar. Model ini lebih cocok bagi sekolah yang jumlah
gurunya lebih banyak dan tidak cocok bagi sekolah yang kekurangan guru.
2.
Model
Ijin Belajar
Ijin belajar merupakan program peningkatan
kualifikasi guru, dimana guru tetap melaksanakan tugas mengajar di sekolah,
tetapi dalam waktu yang sama mereka juga mengikuti kuliah di perguruan tinggi.
Perkuliahan dilaksanakan di sela-sela mengajar atau pada hari tidak mengajar.
Sebagai contoh misalnya hanya pada hari Kamis hingga
Sabtu, guru yang akan meningkatkan kualifikasinya harus dibebaskan dari tugas
mengajar untuk mengikuti perkuliahan. Model ini dapat dilaksanakan bagi sekolah
yang gurunya terbatas namun di daerah memiliki perguruan tinggi yang sesuai
dengan bidang keahlian masing-masing.
3.
Model
Akreditasi
Model akreditasi adalah program peningkatan
kualifikasi guru, di mana guru tersebut tidak meninggalkan tugas sehari-hari
dan tidak merugikan anak didik. Pelaksanaan model akreditasi ini dapat
dilaksanakan dengan melakukan kerjasama antara unit pembina guru dengan LPTK
atau perguruan tinggi yang mempunyai program kependidikan. Unit pembina guru
misalnya Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
(P4TK), Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan, dan Dinas Pendidikan Kabupaten dan
Propinsi.
Prinsip yang dianut dalam model ini adalah
mengakreditasi proses pendidikan dan pelatihan dengan sistem kredit semester
(SKS) sesuai mata kuliah di LPTK/PT. Keuntungan dalam mengikuti model akreditasi
ini, peserta (guru) tidak meninggalkan tugas mengajarnya, guru memiliki SKS
bawaan yang dapat digunakan untuk program peningkatan kualifikasi di LPTK/PT,
dan efektif dalam hal pelaksanaan program yaitu peningkatan kompetensi
sekaligus peningkatan kualifikasi.
Guru yang mengikuti model akreditasi ini, dapat
meningkatkan kualifikasi ke LPTK/PT dengan membawa SKS dari program Diklat yang
diselenggarakan oleh P4TK/LPMP.
4.
Model
Belajar Jarak Jauh (BJJ)
Program Belajar Jarak Jauh (Program BJJ),
diperuntukkan bagi guru yang tinggal jauh dari LPTK penyelenggara. Dengan
mengikuti program BJJ, guru tidak perlu meninggalkan tugas mengajar
sehari-hari. Tutorial diadakan satu minggu sekali, di tempat yang mudah
dijangkau oleh para guru. Tutorial berfungsi sebagai pemantapan substansi
kajian yang telah dibaca oleh para guru, berbagi masalah pembelajaran dan
mengkaji cara pemecahannya, kemudian diterapkan di sekolah masing-masing.
Program ini sangat efektif bagi guru yang tinggal di
daerah-daerah yang sangat terpencil sehingga tidak mungkin mengikuti tutorial
setiap minggu
5.
Model
Berkala
Proses pelaksanaan kualifikasi guru model berkala
dilakukan pada saat libur sekolah. Dengan demikian guru tidak meninggalkan
tugas, sehingga peserta didik tidak tertinggal pelajaran. Ada dua cara yang dapat
ditempuh yakni:
a.
Model
Berkala Terpadu. yakni proses perkuliahan dilakukan
pada saat liburan antar semester genap dan semester ganjil di sekolah. Di
samping perkuliahan dengan tatap muka peserta juga diberi tugas-tugas yang
diselesaikan diluar tatap muka. Namun demikian model ini memerlukan waktu agak
panjang.
b.
Model
Berkala Model Blok Waktu (Block Time). Pada model ini,
perkuliahan dilakukan pada saat liburan sekolah saja dalam satu satuan blok
waktu.
6.
Model
Berdasarkan Peta Kewilayahan
Model ini dilakukan sebagai alternatif pengembangan
kebutuhan layanan kualifikasi berdasarkan kekuatan yang dimiliki oleh
kelembagaan LPTK dan P4TK di wilayah. Model ini dipilih dengan maksud agar
kedua lembaga bisa saling mengoptimalkan kelebihan yang dimiliki oleh kedua
lembaga, sehingga dapat bekerja sinergis untuk mempercepat pencapaian target.
Alternatif model ini dalam pelaksanaannya dapat dilakukan dengan (a) tatap muka
sesuai dengan masa belajarnya dan (b) sandwich
program yaitu sebagian waktu dari masa belajar berada di LPTK dan P4TK
sebagian waktu berada di sekolah untuk memantapkan perolehan ilmunya di
sekolah.
7.
Pendidikan
Jarak Jauh (PJJ) Berbasis ICT
Program Peningkatan Kualifikasi Akademik Guru ke S-1
melalui program PJJ berbasis ICT merupakan program peningkatan kualifikasi
khusus bagi guru SD (lulusan D-2) yang belum berkualifikasi S-1 untuk
melanjutkan pendidikannya ke jenjang S-1.
Lama pendidikan 3 (tiga) tahun termasuk pendidikan
profesi. Lembaga penyelenggara adalah LPTK. Pelaksanaan program ini ditetapkan
oleh Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi dengan
pertimbangan kesediaan dan kesiapan, ketersediaan dukungan teknis
penyelenggaraan, dan distribusi geografis bagi penyelenggaraan Program
Peningkatan Kualifikasi Akademik Guru ke S-1 melalui PJJ berbasis ICT,
disamping juga pertimbangan politis untuk melibatkan LPTK swasta dalam upaya
peningkatan kualifikasi guru SD melalui program PJJ S-1 PGSD berbasis ICT.
Dengan demikian diharapkan LPTK yang ditunjuk dapat melaksanakan Program
Peningkatan Kualifikasi Akademik Guru ke S-1 program PJJ berbasis ICT secara
efektif sehingga menghasilkan lulusan-lulusan yang bermutu dan dapat
melaksanakan tugas secara efektif, kreatif dan produktif di sekolah.
8.
Peningkatan
Kualifikasi Akademik (PKA) Guru Berbasis KKG
Program ini merupakan peningkatan kualifikasi
akademik S-1 PGSD bagi guru SD dengan menggunakan sistem pendidikan jarak jauh
yang diselenggarakan di kelompok kerja guru oleh perguruan tinggi yang
ditunjuk. Proses pembelajaran Peningkatan Kualifikasi Akademik (PKA) S1-PGSD
berbasis KKG dilakukan dengan memberdayakan KKG yang sudah ada pada setiap
kecamatan. Penyelenggaraan PKA berbasis KKG berpeluang untuk menggunakan
berbagai media informasi dan komunikasi, bantuan belajar, dan dinamika kelompok
belajar, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan akuntabilitas proses
pembelajaran dalam program peningkatan kualifikasi akademik guru ke jenjang
S-1.[12]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidik
merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan,
serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi
pendidik pada perguruan tinggi.
kompetensi
guru merupakan kombinasi kompleks dari pengetahuan, sikap, keterampilan, dan
nilai-nilai yang ditunjukkan oleh guru dalam konteks kinerja tugas yang
diberikan kepadanya. Guru minimal memiliki empat kompetensi diantaranya: 1.
Kompetensi pedagogis, 2. Kompetensi kepribadian, 3. Kompetensi profesional, 4.
Kompetensi sosial. Standar kompetensi guru adalah suatu ukuran yang ditetapkan
bagi seorang guru dalam menguasai seperangkat kemampuan agar berkelayakan
menduduki salah satu jabatan fungsional guru, sesuai bidang tugas dan jenjang
pendidikannya.
kualifikasi adalah keahlian yang
diperlukan untuk melakukan sesuatu, atau menduduki jabatan tertentu. Banyak
model peningkatan kualifikasi akademik bagi guru diantaranya: 1. Model Tugas
Belajar, 2. Model Ijin Belajar, 3. Model Akreditasi, 4. Model Belajar Jarak
Jauh (BJJ), 5. Model Berkala, 6. Model Berdasarkan Peta Kewilayahan, 7.
Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) Berbasis ICT, 8. Peningkatan Kualifikasi Akademik
(PKA) Guru Berbasis KKG.
DAFTAR
ISI
Maunah, Binti. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Teras. 2009.
Daryanto. Standar Kompetensi dan Penilaian Kinerja Guru Profesional.
Yogyakarta: Gava Media. 2013.
Sanjaya, Wina. Pembelajaran
Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group. 2006.
Suparlan. Menjadi
Guru Efektif. Yogyakarta: Hikayat publishing. 2008.
Sembiring, M. Gorky. Mengungkap Rahasia dan Tips Manjur Menjadi Guru Sejati. Yogyakarta:
Best Publisher. 2009.
Muchith, M. Saekhan. Pembelajaran Kontekstual. Semarang: RaSAIL Media Group. 2008.
Mulyasa, E. Menjadi
Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan.
Bandung: Remaja Rosdakarya. 2006..
Barnawi & mohammad Arifin. Etika
Dan Profesi Kependidikan. Yogyakarta: Ar-rus media. 2012.
Rachmawati, Tutik
Rachmawati, Daryanto, Penilaian Kinerja
Profesi Guru dan Angka Kreditnya. Yogyakarta: Gava Media. 2013.
Buku Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional
[1]
Dr. Hj. Binti Maunah, M.Pd., Ilmu
Pendidikan, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 77.
[2] Dr. Hj.
Binti maunah, M.Pd., Ilmu Pendidikan,
(Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 79.
[3] Drs.
Daryanto, Standar Kompetensi dan
Penilaian Kinerja Guru Profesional, (Yogyakarta: Gava Media, 2013), hlm.
157.
[4] Dr. Wina
Sanjaya, M.Pd., Pembelajaran Dalam
Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006)
[5] Drs.
Suparlan, M.Ed., Menjadi Guru Efektif,
(Yogyakarta: Hikayat publishing, 2008), hlm. 89-92.
[6] M. Gorky
Sembiring, Mengungkap Rahasia dan Tips
Manjur Menjadi Guru Sejati, (Yogyakarta: Best Publisher, 2009), hlm. 39.
[7] M.
Saekhan Muchith, M.Pd., Pembelajaran
Kontekstual, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm. 148-149.
[8] Drs.
Daryanto, Standar Kompetensi dan
Penilaian Kinerja Guru Profesional, (Yogyakarta: Gava Media, 2013), hlm.
1146-147.
[9] Dr. E.
Mulyasa, M.Pd., Menjadi Guru Profesional
Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2006), hlm. 187-180.
[10] Drs.
Suparlan, M.Ed., Menjadi Guru Efektif,
(Yogyakarta: hikayat, 2008), hlm. 147.
[11] Barnawi
& mohammad Arifin, Etika dan Profesi
Kependidikan, (Yogyakarta: Ar-rus media, 2012), hlm. 17-18.
[12] Dra.
Tutik Rachmawati, M.Pd.,Drs. Daryanto, Penilaian
Kinerja Profesi Guru dan Angka Kreditnya, (Yogyakarta: Gava Media, 2013),
hlm. 51-58.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar