BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Muhammad ‘Abduh adalah tokoh pembaharu yang tidak asing lagi, dunia Islam
dan Barat mengakuinya, bahkan pandangannya sering dijadikan rujukan dalam pembahasan
ke-Islaman. Muhammad
Abduh termasuk salah satu pembaharu agama dan sosial di Mesir pada abad ke 20
yang pengaruhnya sangat besar di dunia Islam. Dialah penganjur yang sukses
dalam membuka pintu ijtihad untuk menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman
modern.
Ia dilahirkan dalam situasi, dimana dunia Barat gencar-gencarnya melakukan
kegiatan ekspansi ke daerah-daerah Islam, termasuk Mesir. Pada masa
Muhammad ‘Abduh itu, ada dua golongan ekstrim: mempertahankan tradisi Arab-Islam; dan mengadakan pembaharuan yang murni merujuk pada
Barat, sehingga nyaris melupakan nilai-nilai Timur dan Islam. Sayyid Qutub mengambarkan situasi dan kondisi
masyarakat tempat Muhammad ‘Abduh hidup sebagai masyarakat yang kaku, beku,
menutup rapat-rapat pintu ijtihad serta mengabaikan peranan akal dalam memahami
syari'at. Sementara, di Eropa khususnya, kehidupan masyarakat sangat mendewakan akal, terlebih
setelah penemuan-penemuan ilmiah yang sangat
mengagumkan ketika itu.
Sebagai seorang reformis, Muhammad ‘Abduh memandang bahwa pendidikan
merupakan elemen penting bagi masyarakat Islam untuk kembali mendapatkan
martabat yang telah lama hilang. Muhammad ‘Abduh ingin berperan di dalam
kebangkitan peradaban umat yang tengah dihantam oleh badai keterbelakangan. Ia melihat
bahwa jalan menuju itu adalah “pendidikan”, tetapi bukan setiap pendidikan,
melainkan pendidikan yang berasaskan referensi keagamaan Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana corak pemikiran dari Muhammad Abduh?
2.
Bagaimana ide pemikiran dan pembaharuan Muhammad Abduh
mengenai pendidikan Islam?
3.
Bagaimana relevansi pemikiran pendidikan Islam menurut
Muhammad Abduh dengan pendidikan Nasional?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
corak pemikiran dari Muhammad Abduh
2.
Mengetahui
ide pemikiran dan pembaharuan
Muhammad Abduh mengenai pendidikan Islam
3.
Mengetahui relevansi pemikiran pendidikan Islam menurut
Muhammad Abduh dengan pendidikan Nasional
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Tokoh
Nama lengkapnya adalah Muhammad ‘Abduh
Hasan Khairullah. Tokoh ini akrab dipanggil dengan sebutan Muhammad Abduh. Ia
dilahirkan di sebuah kampung bernama Mahallat Nasr, Syubra Khit, Provinsi
Al-Bahirah, Mesir pada tahun 1266 H (1849 M).
[1]
Ayahnya bernama Akhsan Khairullah berasal dari Turki yang telah lama
tinggal di Mesir[2],
sedangkan ibunya adalah orang Arab, yang bernama Junaidah Uthman,
yang menurut riwayat, silsilah ibunya sampai pada Umar bin Khattab ra. [3]
Pendidikan
Muhammad ‘Abduh di mulai dengan belajar menulis dan membaca di rumah.
Setelah beliau hapal kitab suci Al-Qur’an pada tahun 1863 M ayahnya
mengirimnya ke Thamta untuk meluruskan
bacaan dan tajwid di masjid al-Ahmadi. Namun karena metode pelajaran tidak sesuai yang
diberikan gurunya seperti membiasakan menghapal istilah nahwu atau fiqh
akhirnya Muhammad ‘Abduh kembali ke Mahallat Nasr dengan tekad tidak akan kembali lagi belajar.
Tahun 1866 M ‘Abduh
meninggalkan isteri dan keluarganya menuju Kairo untuk belajar di Al-Azhar.
Tiga tahun kemudian, ketika Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir tahun 1871 M,
Muhammad ‘Abduh giat belajar dan mendengar segala ide
pembaharuan darinya. ‘Abduh mulai memperluas studinya sampai
meliputi ilmu filsafat dan ilmu sosial serta politik. Afghani adalah
seseorang yang aktif memberikan
dorongan kepada murid-murid untuk menghadapi intervensi Eropa di negeri mereka
dan pentingnya melihat umat Islam sebagai umat yang satu. ‘Abduh memutar jalur
hidupnya dari tasawuf yang bersifat pantang dunia , lalu memasuki dunia
aktivisme sosio-politik.
‘Abduh menyelesaikan studinya pada tahun 1877
M, dan mengajar pertama kali di Al-Azhar. Puncak karir Muhammad ‘Abduh dalam
pembaharuannya, terutama di bidang pendidikan adalah ketika ia ditugaskan
menjadi seorang mufti pertama Mesir. Posisi ini diperolehnya pada 03 Juni 1899
M.
Beliau meninggal pada tanggal 11 Juli 1905 M. Banyaknya orang yang memberikan
hormat di Kairo dan Alexandria, membuktikan betapa besar penghormatan orang kepada dirinya.
Meskipun ‘Abduh mendapat serangan sengit karena pandangan dan tindakannya yang
reformatif, namun Mesir dan Islam merasa kehilangan atas meninggalnya seorang pemimpin yang terkenal
lemah lembut dan mendalam spiritualnya.
B.
Corak
Pemikiran Muhammad Abduh
1. Modernisasi
Semenjak perjumpaannya dengan Al-Afgani, Abduh
berusaha mengadakan penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan zaman, seperti
penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Gagasan
penyesuaian inilah kemudian disebut dengan modernisasi. Sumber dari gagasan
modernisasi Abduh tersebut bersumber dari penentangannya terhadap taqlid.
Menurut Muhammad Abduh, Al-Qur’an memerintahkan kepada umatnya untuk menggunakan
akal sehat mereka, serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat terdahulu
tanpa mengikuti secara pasti hujah-hujah yang menguatkan pendapat tersebut,
walaupun pendapat itu dikemukakan oleh orang yang seyogyanya paling dihormati
dan dipercaya. Abduh menetapkan tiga hal yang menjadi kriteria perbuatan taqlid
ini, ketiga kriteria tersebut adalah:
a. Sangat
mengagung-agungkan para leluhur dan para guru mereka secara berlebihan.
b. Mengiktikadkan
agungnya pemuka-pemuka agama yang silam, seolah-olah telah mencapai
kesempurnaan.
c. Takut dibenci orang
dan dikritik bila ia melepaskan fikirannya serta melatih dirinya untuk
berpegang kepada apa yang dianggap benar secara mutlak.
Berdasarkan pada pandangan tersebut, Abduh memahami Al-Qur’an,
terutama yang berkaitan dengan kecaman terhadap sikap dan perbuatan taqlid
tersebut, walaupun menyangkut sikap kaum musrikin. Selanjutnya ia mengecam kaum
muslimin, khususnya yang berpengetahuan yang mengikuti pendapat ulama-ulama
terdahulu tanpa memperhatikan hujahnya.
Berkaitan dengan modernisasi ini, Rahman memberikan
pernyataan bahwa seorang modernis biasanya memiliki beberapa ciri, diantaranya
selalu berusaha menghadapi segala situasi dengan penuh keyakinan serta
keberanian, dan gerakannya bersifat kerakyatan, serta senantiasa melibatkan
pemikiran pribadi. Kemudian kaum modernis yang telah menjadikan reformasi
sebagai tolak ukurnya adalah mereka yang berusaha menciptakan ikatan-ikatan
positif antara pemikiran Qur’ani dengan pemikiran modern.[4]
Perpaduan antara kedua pemikiran ini telah melahirkan beberapa lembaga sosial
dan moral modern dengan berorientasi pada Al-Qur’an.
Muhammad Abduh menyikapi peradaban Barat modern dengan
selektif dan kritis. Dia senantiasa menggunakan prinsip ijtihad sebagai metode
utama untuk meretas kebekuan pemikiran kaum muslimin. Abduh tidak pernah
berfikir, apalagi berusaha untuk mengambil alih secara utuh segala yang datang
dari dunia Barat. Karena ia beranggapan apa bila itu dilakukan berarti mengubah
taqlid yang lama dengan taqlid yang baru, juga karena hal tersebut tidak akan
berguna, disebabkan adanya perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial
masyarakat masing-masing daerah. Islam menurut Abduh harus mampu meluruskan
kepincangan-kepincangan perbedaan Barat serta membersihkan dari segi-segi negatif
yang menyertainya. Dengan demikian, perbedaan tersebut pada akhirnya, akan
menjadi pendukung terkuat ajaran Islam, sesaat setelah ia mengenalnya dan
dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam.
2. Reformis
Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu yang corak
pembaharuannya bersifat reformistik-rekonsturktif. Ini dikarenakan Muhammad
Abduh senantiasa melihat tradisi dengan perpektif membangun kembali. Agar
tradisi suatu masyarakat dapat survive dan terus diterima, ia harus dibangun kembali.
Pembangunan kembali ini tentunya dengan kerangka modern dan prasyarat rasional.
Pemikiran pembaharuan yang bercorak reformistik dalam bentuknya yang pertama
secara filosofis.[5]
3. Konservatif
Gerakan pembaharuan yang diinagurasikan Muhammad Abduh
bersifat konservatif, hal ini terlihat dari sikap Muhammad Abduh yang tidak
bermaksud mengubah potret diri Islam. Risalah Tauhid merupakan bukti dari
pemikiran ini. Muhammad Abduh dalam karya ini berupaya menegaskan kembali
potret diri Islam yang telah mencapai finalitas dan keunggulan.[6]
Demikianlah muncul ke permukaan ketiga tipologi
pemikiran, yaitu modernis, reformis, konservatif, yang dilontarkan berkaitan
dengan pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh. Ketiganya merupakan refleksi
dalam membaca segala pemikiran Muhammad Abduh. Dalam pembacaan itu corak
pertama lebih menekankan pada aspek selektifitas dan sikap kritis Muhammad
Abduh dalam menyikapi dan memandang peradaban Barat. Corak kedua lebih
menekankan kepada upaya Muhammad Abduh dalam membangun kembali tradisi Islam
secara rekonstruktif. Sedangkan corak yang ketiga memfokuskan bacaannya kepada
upaya Muhammad Abduh dalam membela Islam melalui finalitas dan keunggulan
Islam.
C. Pembaharuan Pendidikan Islam
Muhammad ‘Abduh
Pembaharuan
dalam bidang pendidikan yang menjadi prioritas utama Muhammad Abduh,
berorientasi pada pendidikan Barat. Ia mendirikan berbagai macam sekolah yang
meniru sistem pendidikan dan pengajaran Barat. Tipe pertama adalah sekolah
tradisional, sedangkan tipe kedua adalah sekolah-sekolah modern yang didirikan
pemerintah Mesir oleh para misionaris asing. Kedua tipe lembaga pendidikan
tersebut tidak mempunyai hubungan sama sekali, dan masing-masing berdiri
sendiri.
Adanya
dua tipe pendidikan tersebut juga berdampak kepada munculnya dua kelas sosial
dengan motivasi yang berbeda. Tipe yang pertama melahirkan para ulama dan tokoh
masyarakat yang mempertahankan tradisi, sedangkan tipe sekolah kedua melahirkan
kelas elit generasi muda yang mendewakan dan menerima perkembangan dari Barat tanpa
melakukan filterisasi.
Muhammad
Abduh melihat adanya segi-segi negatif dari kedua bentuk pemikiran itu, ia
memandang bahwa jika pola fikir yang pertama tetap di pertahankan maka akan
mengakibatkan umat Islam tertinggal jauh dan semakin terdesak oleh arus
kehidupan modern. Semetara pola fikir yang kedua, Muhammad Abduh melihat bahwa
pemikiran modern yang mereka serap dari Barat tanpa nilai “religius” merupakan
bahaya yang mengancam sendi agama dan moral.
Dari
sinilah Muhammad Abduh melihat perlunya mengadakan perbaikan terhadap kedua institusi
itu sehingga dua pola pendidikan tersebut saling menopang demi mencapai suatu
kemajuan serta upaya untuk mempersempit jurang pemisah antara dua lembaga
pendidikan yang kelak akan melahirkan para generasi penerus.
Langkah
yang di tempuh Muhammad Abduh untuk meminimalisir kesenjangan dualisme
pendidikan adalah upaya menselaraskan, menyeimbangkan antara porsi pelajaran
agama dengan pelajaran umum. Muhammad Abduh mempunyai beberapa langkah untuk
memberdayakan sistem Islam antara lain yaitu:
1.
Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam
Untuk
memberdayakan sistem pendidikan Islam, Muhammad Abduh menetapkan tujuan, pendidikan
Islam yang di rumuskan sendiri yakni: Mendidik jiwa dan akal serta
menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat mencapai
kebahagian hidup di dunia dan akhirat.[7] Dari rumusan tujuan pendidikan
tersebut, dapat dipahami bahwa yang ingin dicapai oleh Muhammad Abduh adalah
tujuan yang mencakup aspek kognitif (akal) dan aspek afektif (spritual). Pendidikan akal ditujukan sebagai alat
untuk menanamkan kebiasaan berpikir dan dapat membedakan antara yang baik dan
yang buruk. Dengan menanamkan kebiasaan berpikir, Muhammad Abduh berharap
kebekuan intelektual yang melanda kaum muslimin saat itu dapat dicairkan dan
dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak
hanya mampu berpikir kritis, juga memiliki akhlak mulia dan jiwa yang bersih.
2. Metode Muhammad Abduh
Dalam
bidang pendidikan, Muhammad Abduh cenderung menggunakan metode yang didasarkan
filsafat rasionalis.[8] Pengaruh gurunya (Jamaluddin)
ternyata cukup besar terhadap metode pembelajaran yang ia terapkan setelah
menjadi seorang pendidik. Metode yang digunakan oleh Jamaluddin adalah metode
praktis (‘maliyyah) yang mengutamakan pemberian pengertian dengan cara
diskusi.[9]
Muhammad
Abduh mengubah cara memperoleh ilmu yang umumnya dengan metode hafalan menjadi
metode rasional dan pemahaman (insight). Disamping menghafal, siswa juga
diharuskan memahami materi yang dijelaskan guru. Muhammad Abduh juga
menghidupkan kembali metode munazharah (forum perdebatan umum yang
menguji kekuatan teori dan pandangan seseorang) dalam memahami pengetahuan dan
menjauhkan metode taklid (mengikuti pendapat orang lain) buta pada masa
ulama. Ia juga mengembangkan kebebasan ilmiah dikalangan mahasiswa Al-Azhar.
Selain itu ia juga membuat metode yang sistematis dalam menafsirkan Al-Quran yang
didasarkan pada lima prinsip:
a)
Menyesuaikan peristiwa yang ada pada masanya dengan nash Al-Quran
b)
Menjadikan Al-Quran sebagai sebuah kesatuan
c)
Menjadikan surat sebagai dasar untuk memahami ayat
d)
Menyederhanakan bahasa dalam penafsiran
e)
Tidak melalaikan peristiwa-perisiwa sejarah untuk
menafsirkan ayat-ayat yang turun pada waktu itu
3. Menggagas Kurikulum Pendidikan Islam Yang Integral
Di
samping pendidikan akal, Muhammad Abduh juga mementingkan pendidikan spiritual
agar lahir generasi yang mampu berfikir dan punya akhlak yang mulia serta jiwa
yang bersih. Tujuan pedidikan yang demikian ia wujudkan dalam seperangkat kurikulum
sejak dari tingkat dasar sampai ke tingkat atas. Kurikulum tersebut adalah.
a)
Kurikulum Al-Azhar
Karir
Muhammad Abduh dimulai setelah ia menamatkan kuliahnya pada tahun 1877, atas
usaha Perdana Mentri Riadl Pasya, Ia diangkat menjadi dosen pada Universitas
Darul Ulum, disamping itu menjadi dosen pula pada Universitas Al-Azhar. Ia
terus mengadakan perubahan-perubahan yang terbilang radikal sesuai dengan
cita-citanya, yaitu memasukkan udara baru yang segar pada perguruan-perguruan
tinggi Islam, menghidupkan Islam dengan metode-metode baru yang sesuai dengan
kemajuan zaman, mengembangkan kesusastraan Arab sehingga menjadi bahasa yang
kaya dan hidup, serta melenyapkan cara-cara lama yang kolot dan fanatic.
Dalam
mengajar, Muhammad Abduh menekankan kepada mahasiswanya untuk berpikiran
kritis, rasional dan tidak harus terikat kepada suatu pendapat, serta menjauhi
paham fatalisme, karena ketidak kritisan dan fatalisme umat Islam yang menjadi
penyebab kemunduran umat, kelemahan umat, absennya jihad umat, absennya
kemajuan kultur umat dan tercabutnya umat dari norma-norma dasar pendidikan
Islam
Ia
menekankan pentingnya pemberian pengertian dalam setiap pelajaran yang
diberikan. Ia memperingatkan para pendidik untuk tidak mengajar murid dengan
metode menghafal, karena metode demikian hanya akan merusak daya nalar, seperti
yang dialaminya ketika belajar di sekolah formasi di Masjid Ahmadi di Thanta.[10]
Krisis
intelektual dalam dunia Islam yang berlarut-larut terjadi pada saat itu. Salah
satu penyebab dari krisis tersebut adalah dikarenakan adanya dikotomi Ilmu
Pengetahuan pada saat itu, sehingga umat Islam jauh tertinggal secara kultural
maupun peradaban. Begitupun yang terjadi di Al-Azhar, Muhammad Abduh yakin
bahwa apabila pendidikan di Al-Azhar dapat diperbaiki, maka kondisi umat Islam
akan ikut baik. Menurutnya perlu
diadakan pembenahan administrasi, kurikulumnya diperluas, mencakup ilmu-ilmu
modern, sehingga Al-Azhar dapat berdiri sejajar dengan universitas-universitas
lain di Eropa serta menjadi mercusuar dan pelita bagi kaum muslimin.
Adapun
usaha Muhammad Abduh menggajukan Universitas Al-Azhar antara lain:
1)
Memasukan ilmu-ilmu modern yang berkembang di Eropa kedalam Al-Azhar.
2)
Mengubah sistem pendidikan dari mulai mempelajari ilmu
dengan sistem hafalan menjadi sistem pemahaman dan penalaran.
3)
Menghidupkan metode munazaroh (discution)
sebelum mengarah ke taqlid
4)
Membuat peraturan-peraturan tentang pembelajaran seperti
larangan membaca hasyiyah (komentar-komentar) dan syarh
(penjelasan panjang lebar tentang teks pembelajaran) kepada mahasiswa untuk
empat tahun pertama.
5)
Masa belajar di perpanjang dan memperpendek masa liburan.
b) Sekolah Dasar Negeri
Muhammad
Abduh berpendapat bahwa agama adalah dasar pembentuk jiwa dan pribadi seorang
manusia. Maka dari itu hendaknya mata pelajaran agama diajarkan sedini mungkin
pada anak sejak mereka duduk di bangku SD. Mengacu pada statement bahwa
agama Islam adalah dasar pembentuk jiwa dan pribadi seorang muslim, diharapkan
dengan memiliki jiwa kepribadian seorang muslim, maka masyarakat Mesir akan
mempunyai jiwa kebersamaan dan nasionalisme yang dapat mengantarkan masyarakat
mesir memperoleh kemajuan dalam kehidupan berbangsa.[11]
c) Sekolah Tingkat Atas
Salah
satu upaya memperbaiki pendidikan di Mesir adalah dengan mendirikan sekolah
menengah pemerintah untuk mencetak ahli dalam berbagai lapangan administrasi,
militer, kesehatan, perindustrian, dan sebagainya. Pada jenjang ini, Muhammad
Abduh merasa perlu menambahkan materi-materi yang berhubungan dengan agama
islam. Dengan adanya materi tentang agama, diharapkan para calon pegawai dan
perwira militer memiliki bekal agama dan moral yang baik.[12]
Ketiga
jenis sekolah yang dibentuk Muhammad Abduh bukan bertujuan menciptakan kelompok
social secara eksklusif, melainkan memiliki tujuan untuk melayani kepentingan
masyarakat. Prinsip yang diterapkan Muhammad Abduh adalah perlunya mendasari
pendidikan dengan moral dan agama. Pengajaran diperlukan untuk mencapai
kehidupan yang lebih baik, sedangkan pendidikan dipandang sebagai alat yang
paling efektif untuk melakukan suatu perubahan.
Diantara
konsentrasi pembaharuan pendidikan Muhammad Abduh juga adalah tentang
pendidikan perempuan. Menurutnya, perempuan memiliki hak yang sama dengan
laki-laki dalam menerima layanan pendidikan. Wanita harus dilepaskan dari
rantai kebodohan maka dari itu perlu diberikan pendidikan. Dalam mengangkat
harkat martabat perempuan, menurutnya ada beberapa hal yang harus diperjuangkan
pembelajaran buat perempuan; mempersempit talak, dan pelarangan poligami. Semua
pemikiran Muhammad Abduh tentang perempuan tertuang dan dikembangkan dalam Tahrir
al-Mar'ah karya muridnya, Qosim Amin
Dalam
bidang pendidikan non formal, Muhammad Abduh menyebutkan usaha perbaikan (islah),
dalam hal ini Muhammad Abduh melihat perlunya campur tangan pemerintah terutama
dalam hal mempersiapkan para pendakwah. Tugas mereka yang utama antara lain:
1)
Menyampaikan kewajiban dan pentingnya belajar
2)
Mendidik mereka dengan memberikan pelajaran tentang apa yang
mereka lupakan atau yang belum mereka ketahui.
3)
Meniupkan ke dalam jiwa mereka cinta pada negara, tanah air,
dan pemimpin.
Pembaruan
pendidikan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dipengaruhi oleh faktor situasi
keagamaan dan situasi pendidikan yang terjadi pada masa itu. Keadaan sosial
keagamaan di Mesir saat itu cukup memprihatinkan. Krisis yang menimpa umat
bukan hanya dalam bidang akidah dan syariah, tapi juga akhlak dan moral.
Pemikiran Muhammad Abduh sesuai dengan yang ada pada saat itu. Pembaruan bidang
pendidikan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh di Al-Azhar ternyata juga
berpengaruh besar pada institusi pendidikan yang ada di Mesir bahkan ide
penbaharuannya ditulis dan disebarkan pula melalui majalah terkenal di Mesir,
yaitu Al- Manar dan Al-Urwat Al- Wusqa.[13]
Muhammad
Abduh berusaha membuat kurikulum yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan
masyarakat mesir pada saat itu. Ia berpendapat bahwa sekolah khusus yang
mendidik para ulama hendaknya diberi mata pelajaran yang luas, sehingga Ia
memasukkan beberapa ilmu tambahan pada kurikulum Al-Azhar, antara lain ilmu
filsafat, logika, dan ilmu pengetahuan modern. Hal ini ia maksud untuk
mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, yakni para ulama yang
modern.
Dari
beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh, meskipun belum sempat ia
aplikasikan sepenuhnya secara temporal. Telah memberikan pengaruh positif
terhadap lembaga pendididkan Islam. Usaha Muhammad Abduh kurang begitu lancar
disebabkan mendapat tantangan dari kalangan ulama yang kuat berpegang pada
tradisi lama teguh dalam mempertahankanya.
D. Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh dengan
Pendidikan Nasional
Konsep
pendidikan Muhammad Abduh ditelaah dari faktor-faktor pendidikan menunjukkan
adanya relevansinya dengan Sistem Pendidikan Nasional yang tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, terutama pada tujuan pendidikan Nasional,
yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk peserta didik yang memiliki
iman dan takwa.[14]
Sumbangsi
pemikiran Muhammad Abduh tentang metode pengajaran relevan dengan pendidikan
Indonesia, hal itu dapat dilihat disekolah-sekolah yang tersebar di Indonesia.
Metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar tak selalu metode
menghapal. Guru berusaha menyajikan metode-metode yang dapat dipahami anak
didik dengan mudah, antara lain metode diskusi, kuis, maupun praktek.
Jika
dilihat dari segi konsep pendidikan yang dikeluarkan Muhammad Abduh penulis
merasa kurang relevan dengan keadaan di Indonesia saat ini. Muhammad Abduh
ingin menggabungkan antara kecerdasan generasi
muda yang tidak lepas dari tuntunan islam, meski di Indonesia sekarang
ini sudah ada beberapa sekolah yang menggunakan pemikiran beliau, namun masih
banyak sekolah-sekolah umum yang kurang mementingkan pelajaran agama (terutama
Islam). Hal tersebut bisa jadi karena keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk,
dimana terdapat bermacam-macam perbedaan, salah satunya adalah masalah agama.[15]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Corak pemikiran Muhammad
Abduh, ada 3 yaitu: pertama modernisasi, semenjak perjumpaannya dengan
Al-Afgani, Abduh berusaha mengadakan penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan
zaman, seperti penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua
reformis, Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu yang corak pembaharuannya
bersifat reformistik-rekonsturktif. Ini dikarenakan Muhammad Abduh senantiasa
melihat tradisi dengan perpektif membangun kembali. Agar tradisi suatu
masyarakat dapat survive dan terus diterima. Ketiga konservatif, gerakan
pembaharuan yang diinagurasikan Muhammad Abduh bersifat konservatif, hal ini
terlihat dari sikap Muhammad Abduh yang berupaya menegaskan kembali potret diri
Islam yang telah mencapai finalitas dan keunggulan
Pembaharuan pendidikan
Islam Muhammad Abduh, diantaranya: 1) Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam, 2) Metode
Muhammad Abduh dan 3) Menggagas Kurikulum Pendidikan Islam Yang Integral
Adapun relevansi
pemikiran pendidikan Islam Muhammad Abduh dengan pendidikan Nasional yaitu
bahwa konsep pendidikan Muhammad Abduh ditelaah dari faktor-faktor pendidikan
menunjukkan adanya relevansinya dengan Sistem Pendidikan Nasional yang tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, terutama pada tujuan pendidikan
Nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk peserta didik
yang memiliki iman dan takwa
DAFTAR
PUSTAKA
Suharto, Toto.
2006. Filsafat
Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Ar-ruzz
Lubis, Arbiyah. 1993. Pemikiran Muhammadiyah dan
Muhammad Abduh. Jakarta: PT. Bulan Bintang
Saefudin,
Didin. 2003. Pemikiran Modern dan Post Modern Islam. Jakarta: Grasindo
Nasution, Harun. 1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Muktazilah. Jakarta: PT Grafindo Persada
Syar’I, Ahmad. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:
Pustaka Firdaus
Ysmansyah. 2007. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Nizar. 2006. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:
Pustaka Firdaus
Kholid, Muhammad Fathoni. 2005. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional. Jakarta:
Departemen Agama RI